Opini

Dilema Citra Polisi

Oleh La Ode Ida pada hari Kamis, 09 Jul 2015 - 14:24:36 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

94Sarapan-pagi-2.jpg

Kolom Santai Siang Bareng La Ode Ida (Sumber foto : Ilustrasi/TeropongSenayan)

Beberapa hari lalu, saya kedatangan tamu keluarga dan nginap di kediaman saya selama tiga malam. Dia seorang polisi yang sedang ikut pendidikan Perwira Pertama (dari bintara) di Sukabumi, yang libur selama beberapa hari. 

Saya manfaatkan kesempatan untuk memperoleh cerita tentang kisah-kisah menarik pengalamanya sebagai polisi di daerah. Kebetulan yang bersangkutan tugas di bagian reserse, dan yang ditangani adalah kejahatan narkoba.

Pria calon Ipda (Inspektur Polisi Dua) itu mengakui bahwa masyarakat terkadang menilai polisi negatif. Tapi dia sendiri terus jalankan tugas secara profesional. Berat memang godaannya, apalagi berhadapan dengan pengguna narkoba. 

Bandar dan konsumennya orang-orang berduit, oknum pejabat dan pengusaha, termasuk keluarga mereka. Di kota kecil tempat tugasnya saja, di pulau Sulawesi sana, sudah begitu banyak yang mengonsumsi. Sungguh memprihatinkan.

Salah satu peristiwa yang mengesankan dalam menjalankan tugasnya, yakni ketika menangkap seorang pengusaha yang sedang asyik mengisap sabu-sabu di kediamannya. Pengusaha itu meronta minta sambil memeluk badannya seraya membisikkan untuk imbalan uang. 

Jumlahnya tak kecil untuk ukuran seorang bintara muda. Tapi ia tak peduli, menolak langsung tawaran itu, seraya segera menyeretnya ke dalam mobil dan lalu dimasukkan tahanan polisi, sampai kemudian dipenjara.

Yang lebih memprihatinkan lagi, beberapa oknum pejabat di daerah mencoba mendekatinya agar diupayakan untuk dibebaskan. Mereka itu bagian dari teman pengusaha itu. Bahkan sebagian di antaranya sedikit bernada menggertak. 

Tapi polisi berpangkat Aiptu itu tak peduli. Bersikap konsisten memberantas narkoba sebagai tugas mulia, karena terkait kesehatan jiwa, moralitas dan masa depan generasi muda.  

Tetapi yang sangat menyedihkan, saat kian bersemangatnya “menghabisi” para pengguna dan bandar narkoba, tiba-tiba ia harus pindah tugas ke daerah lain di lingkup provinsi itu. 

Ia pun curiga, kalau mutasi dirinya itu bagian dari pengaruh loby pejabat politik setempat lantaran Sang Aiptu itu juga sudah mengincar beberapa oknum pejabat dan keluarganya yang diketahuinya sudah lama sebagai pengguna narkoba.

Beruntung, baru hitungan minggu mutasi di tempat baru, ia pun lulus seleksi ikut pendidikan calon Perwira Pertama. Saya tanya padanya, apakah kamu menyogok saat test untuk ikut pendidikan ini? 

Spontan dengan ekspresi raut wajah yang jujur ia jawab, “tidak sama sekali. Karena saya tak punya uang untuk lakukan itu. Saya hanya hidup bersama istri dan anak-anak dengan gaji normal”. Saya pun pesan pada dia agar teruslah tingkatkan derajat dedikasi dan tanamkan nilai-nilai integritas dalam tugas.

Cerita kisah nyata di atas, sengaja saya angkat untuk menyatakan bahwa sebenarnya masih demikian banyak aparat kepolisian yang sungguh-sungguh menjalankan tugas dengan derat profrsional yang tinggi. 

Aparat polisi yang saya ceritakan di atas, hemat saya, hanyalah salah satu di antara mereka yang terus merawat pulau integritas (island of integrity) di dalam barisan aparat penegak hukum yang di antara tugas pokoknya adalah memerangi narkoba dan berantas praktik korupsi.

Hanya saja, yang banyak ditonjolkan selama ini adalah “catatan hitam” yang diangkat dari sejumlah oknum yang berperilaku buruk termasuk korup. “Kisah-kisah integritas” tidak terlalu ditonjolkan, ataupun jika itu muncul maka boleh jadi tidak terlalu berkesan mendalam bagi masyarakat pada umumnya. 

Itu juga memang wajar, karena disamping pihak pers lebih tertarik dan bahkan membesar-besarkan perilaku laku negatif (karena dianggap marketable  yang sekaligus jadi bagian dari bisnis pers), juga secara psikologis segala sesuatu negatif memang lebih mudah terendap lama di dalam jiwa publik apalagi peritiwanya juga terus berulang.

Tantangan polisi sekarang ini memang terkait dengan citranya yang cenderung berlabel negatif di mata publik itu. Apalagi dalam beberapa tahun selama ini beberapa petinggi POLRI kerap menjadi tersangka kasus korupsi, menjadi penghuni ‘hotel prodeo’. 

Maka ketika pihak POLRI berseteru dengan KPK, baik pada kasus ‘cicak versus buaya’, kasus simulator SIM yang libatkan Irjen (Pol) Joko Susilo, maupun dalam kasus Budi Gunawan; dukungan masyarakat cenderung tidak berada pada pihak Polri atau berada di KPK sebagai “seterunya”. 

Demikian juga ketika terjadi konflik dengan aparat keamanan lain seperti dengan TNI-AD di sejumlah tempat di tanah air, masyarakat selalu berada bukan di pihak POLRI.

Begitulah. Tetapi jika kerja profesional-berintegritas aparat kepolisian seperti diceritakan di awal tulisan ini terus saja didorong dan dipromosikan, maka lama lamban laun citra polisi akan berangsur membaik di mata publik. 

Namun upaya seperti ini diperkirakan akan menghadapi dua tantangan sekaligus. Pertama, dari pihak kepemimpinan POLRI di seluruh jenjang. Selama ini muncul kesan, dan sudah jadi rahasia umum, bahwa sebagian oknum pimpinan di POLRI telah menjadikan jabatannya untuk memperoleh keuntungan materi di luar pendapatan resmi dari negara.

Para oknum pimpinan (pejabat di jajaran POLRI) seperti itulah yang secara langsung dan tak langsung pun merusak moral aparat polisi yang bertugas di lapangan. Apalagi jika aparat bawahan memiliki semacam kewajiban untuk “menyetor ke atas (secara berjenjang)”, maka niscaya akan selalu menyalahkan tugasnya, yakni mengumpulkan dengan berbagai cara termasuk untuk kesejahteraan diri dan keluarga oknum aparat itu.

Dalam kaitan itulah, kasus-kasus pengguna, pengedar dan bandar narkoba, korupsi, ilegal logging, illegal mining dan berbagai penyimpangan lainnya yang seharusnya ditangani atau diproses secara hukum oleh aparat kepolisian, justru (akan) dijadikan obyek atau proyek transaksional. 

Atau, barangkali pula jika ada aparat yang konsisten profesional-bersih dalam jalankan tugaskan, maka posisinya dan tempat tugasnya boleh selalu potensial untuk digeser ke sana kemari, karena itu dianggap sebagai penghalang untuk peroleh tambahan materi yang tidak halal.

Kedua, pihak masyarakat, khususnya para oknum pejabat dan pengusaha, menjadi bagian dari virus yang merusak polisi. Kasus percobaan penyuapan dari pengusaha pengguna narkoba seperti kisah oleh seorang polisi di atas, merupakan bagian dari cara-cara untuk menjadikan polisi bukan saja bercitra buruk tapi sekaligus disepelekan. Toh dianggap selalu bisa diisi kantongnya dengan uang.

Apalagi terkait dengan penanganan korupsi, maka tak akan segan-segan para pejabat, politisi dan pengusaha korup akan membagi hasil korupsi pada pihak polisi, utamanya melalui (jaringan) oknum pimpinannya, sehingga kasus-kasus korupsi mereka terus saja diendapkan atau tak diproses.

Maka tidak heran mengapa hingga saat ini banyak pejabat dan penguasaha yang terindikasi korup terus saja bebas menghirup udara segar, seraya menikmati harta hasil korupsinya yang sebagiannya sudah “dibagi” pada pihak oknum penegak hukum yang minum integritas. Ini artinya, pihak pengusaha dan pejabat yang rusaklah yang turut berkontribusi besar pada proses perusakan moral aparat dan citra POLRI.

Di sinilah pihak POLRI perlu lakukan refleksi atau instrospeksi secara jujur, melakukan penyegaran dengan memastikan tampil berperannya aparat yang berintegritas, profesional dan berdedikasi tinggi. 

Perubahan kultur dan orientasi sudah pasti diperlukan. Dan semuanya memerlukan political will dari pimpinan POLRI sekarang, termasuk Presiden Jokowi yang harus mendorongnya.(*)

 

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #Kolom   #Makan Siang   #la ode ida  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement