Opini

Jalan Hukum dan Politik Untuk Selesaikan Konflik Partai Golkar

Oleh Said Salahudin, Pengamat Hukum Tata Negara pada hari Senin, 06 Apr 2015 - 17:14:10 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

56Said Salahudin Sigma.jpg

Said Salahudin (Sumber foto : dok.teropongsenayan)

Jika hanya mengandalkan proses hukum, maka akan sulit bagi kubu Aburizal Bakrie (ARB) maupun kubu Agung Laksono untuk menjalankan roda organisasi Partai Golkar secara efektif, khususnya dalam melaksanaan tugas-tugas pengelolaan negara melalui fraksi yang ada di DPR RI maupun yang ada di DPRD di seluruh Indonesia.

Pasca putusan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) yang memerintahkan kepada Menkumham untuk menunda pelaksanaan Surat Keputusan (SK) pengesahan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Ancol 2014 yang dipimpin oleh Agung Laksono dan Zainudin Amali, untuk sementara ini memang telah ada kejelasan tentang kepengurusan Partai Golkar yang sah, yaitu kepengurusan hasil Munas Riau 2009 yang yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie dan Idrus Marham.

Keabsahan kepengurusan Aburizal Bakrie-Idrus Marham jilid satu itu merupakan konsekuensi hukum dari Penetapan PTUN. Sebab dalam perspektif hukum administrasi negara, apabila suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), termasuk SK Menkumham diperintahkan oleh pengadilan untuk ditunda pelaksanaannya, maka sedikitnya memunculkan tiga konsekuensi.

Pertama, asas praduga rechtmatig (het vermoeden van rechtmatigheid) atau asas praesumptio iustae causa yang menentukan suatu KTUN harus tetap dianggap sah menurut hukum walaupun sedang digugat. Pemberlakuannya dibatasi atau dikecualikan oleh karena adanya perintah tentang penundaan pelaksanaan KTUN oleh pengadilan.

Kedua, pemberlakuan atau daya laku (gelding) KTUN itu terhenti untuk sementara waktu (tijdelijk) sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau ada Penetapan lain yang mencabutnya.

Ketiga, keadaan hukum (rechtstoestand) dari permasalahan dimaksud kembali pada keadaan atau posisi semula (restitutio in integrum) sebelum KTUN tersebut disengketakan.

Ketiga hal itulah yang menjadi landasan yuridis untuk menyatakan  kepengurusan Partai Golkar yang sah saat ini adalah kubu Aburizal Bakrie dan Idrus Marham hasil Munas Riau 2009 yang mendapatkan SK Menkumham sebelum diterbitkannya SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan kubu Agung Laksono.

Tetapi yang menjadi masalahnya sekarang adalah Penetapan PTUN tersebut tidak bisa berlaku permanen. Baik kubu Aburizal Bakrie-Idrus Marham jilid dua hasil Munas Bali 2014 dan kubu Agung Laksono-Zainudin Amali hasil Munas Ancol 2014, masih harus melewati serangkaian proses hukum yang cukup panjang dan bahkan tidak mustahil bisa memunculkan keributan baru.

Misalnya, kubu Agung bisa berbalik diatas angin manakala sebelum dijatuhkan putusan akhir oleh PTUN muncul penetapan baru yang mencabut Penetapan tentang penundaan pelaksanaan SK Menkumham.
Kalau itu yang terjadi, maka asas praduga rechtmatig kembali dikedepankan. Artinya, SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono kembali harus dianggap sah menurut hukum.

Apalagi jika putusan akhir PTUN ternyata menolak permohonan pembatalan SK Menkumham yang diajukan oleh kubu Aburizal. Hal tersebut sudah barang tentu akan semakin mengukuhkan kubu Agung, walaupun kubu Aburizal masih bisa mengajukan banding.

Andaipun pada putusan akhir PTUN mengabulkan gugatan kubu Aburizal dengan membatalkan SK Menkumham, maka putusan itu juga masih belum memiliki kekuatan hukum tetap manakala Menkumham melakukan banding seperti pada kasus PPP. Setelah proses banding pun masih terbuka upaya hukum kasasi dan mungkin saja upaya peninjauan kembali.

Namun demikian, kubu Aburizal hasil Munas Riau 2009 tetap harus dinyatakan sebagai pengurus Partai Golkar yang sah, walaupun proses hukum yang panjang itu sedang berjalan. Apabila dalam putusan akhirnya PTUN menyatakan mempertahankan penetapan tentang penundaan pelaksanaan SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono-Zainudin Amali, sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Nah, di sinilah yang saya katakan diawal bahwa jika hanya mengandalkan proses hukum, maka penyelesaiannya akan memakan waktu yang cukup panjang. Padahal Partai Golkar memiliki tanggungjawab kenegaraan dibidang legislatif. Jika Fraksi Partai Golkar di DPR RI dan DPRD terganggu karena adanya konflik kepengurusan, maka pada tingkat tertentu dapat berakibat pada menurunnya kinerja lembaga legislatif.

Oleh sebab itu menurut saya cukup beralasan jika SK Menkumham tersebut juga coba diselesaikan melalui proses politik, selain melalui proses hukum. Sehingga tidak ada yang keliru ketika anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar dan fraksi-fraksi lainnya ingin menggunakan hak konstitusionalnya dengan cara mengajukan hak angket kepada Presiden atau Menkumham.

Apabila dalam proses penyelidikan DPR ternyata ditemukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Menkumham dalam melaksanakan UU Partai Politik, maka bisa saja DPR merekomendasikan kepada Presiden untuk mencabut SK Menkumham itu. Bahkan DPR sekaligus merekomendasikan kepada Presiden untuk memberhentikan Menkumham Yassona Laoly.

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #Kisruh Partai Golkar  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement