Editorial

Kemendagri vs Kemendestrans: Rapuhnya Manajemen Kabinet Kerja?

Oleh Bani Saksono pada hari Jumat, 09 Jan 2015 - 10:04:23 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

24beras-petani-bulog.jpg

Kebanyakan penduduk pedesaan adalah petani atau buruh tani. Merekalah sasaran UU Nomoor 6/2014. (Sumber foto : bulog.go.id )

AWALNYA, barangkali ini merupakan iktikad baik untuk mengentaskan desa dari keterbelakangan. Sebab, kesenjangan antara desa dan kota masih teramat dalam. Program itu sebetulnya lebih dulu dicanangkan Prabowo Subianto dalam kampanye pemilihan presiden (Pilpes) lalu. Program Rp 1 Miliar per Desa.

Oleh tim kampanye Jokowi, program itu diadopsi dengan menaikkan harga menjadi Rp 1,4 miliar per desa. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, di seluruh Indonesia terdapat 72.944 desa dan 8.309 kelurahan. Total 81.253 pemerintahan tingkat desa/kelurahan. Biasanya,kelurahan terdapat di kota-kota.

Jika yang dihitung sebagai desa, maka jumlahnya 72.944. Maka, alokasi anggaran yang bakal dikucurkan ke seluruh desa saja, mencapai Rp 102,12 triliun setiap tahunnya. Tapi, saat ini, desa hanya mendapat dana segar total sebesar Rp 9,01 triliun. Jika harus didistribusikan ke desa-desa, maka tiap desa akan memperoleh jatah hanya Rp 120 jutaan saja. Jauh dari yang pernah dijanjikan oleh Jokowi dan Prabowo.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendestrans/Kementerian DPDTT) berupaya menambah jumlah alokasi dana buat desa hingga total mencapai Rp 29 triliun untuk 74 ribu desa atau rata-rata Rp 350 juta/desa/tahun. Kekuatan hukum yang dipegang Kementerian DPDTT adalah UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Penataan desa, seperti tertuang dalam UU 6/2014 mempunyai enam tujuan, yaitu untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan desa; mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat desa; mempercepat peningkatan kualitas pelayanan.

Yang jadi persoalan sekarang adalah menyangkut kewenangan siapa sesungguhnya yang berwenang menangani desa. Sampai sekarang, secara administratif, urusan desa di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Di era pemerintahan sebelumnya, yaitu di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kedua kementerian itu tidak pernah "cek-cok" mengurus desa.

Saat itu, Mendagri Gamawan Fauzi berasal dari unsur pemerintah, yaitu gubernur Sumatera Barat. Sedangkan Menteri Pembangunan Desa Tertinggal adalah Helmy Faishal Zainy yang berasal dari unsur Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Konflik kedua kementerian itu muncul di era pemerintahan Presiden Jokowi dan seiring terbitnya UU Nomor 6/2014 tentang Desa. Mendagri Tjahyo Kumolo dari PDIP dan Menteri DPDTT Marwan Jafar dari PKB. Jika didikotomikan demikian, tentu akan menjadi persoalan politis yang bisa menjurus pada kebijakan nepotisme, kolusi, dan korupsi. Sebab, hal itu menyangkut  besarnya anggaran yang bakal dikelola untuk memakmurkan desa. 

Yang terang, konflik itu muncul karena ada perbedaan penafsiran di kalangan anggota Kabinet Kerja pimpinan Presiden Jokowi terhadap hak dan kewajiban serta tata kelola kementerian yang ada. Semestinya, beda penafsiran itu cukup dilokalisasi di internal kabinet. Jangan biarkan pesoalan itu melebar hingga membuka peluang dicampuri pihak di luar kabinet. Toh jika membutuhkan pembakuan penafsiran kewenangan kedua kementerian itu atas pelaksanaan UU Desa, sebaiknya dikonsultasikan ke DPR sebagai keputusan formal, bukan keputusan politis. (b)

tag: #desa kemendagri kemendestrans   #DPDTT  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement