Opini

Parpolisasi Masyarakat Madani

Oleh Muchtar E.Harahap pada hari Senin, 03 Agu 2015 - 07:19:48 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

7unnamed (21).jpg

Mukmatar NU (Sumber foto : antaranews)

Apa yang terjadi pada Muktamar ke-33 NU di Jombang Jawa Timur sesungguhnya sudah terjadi juga di ormas-ormas Islam besar lain, yakni fenomena 'parpolisasi' di Indonesia era reformasi. Peran rekruitmen parpol bukan saja ke dalam pemerintahan, tetapi telah meluas ke dalam dunia usaha dan masyarakat madani. 

Metode rekruitmen digunakan 'transaksional' yakni memfasilitasi dengan uang/dana dan kemudahan-kemudahan lain yang membutuhkan kapital/modal kepada para pemilik suara dan para penggembira agar memberikan dukungan terhadap pengambilan keputusan pemilihan pengurus ormas tsb. 

NU menjadi sangat terbuka karena ada parpol (PKB) yang konstituennya dominan warga NU dan  sedang dalam posisi parpol berkuasa di pemerintahan. Kepentingan parpol atas penguasaan NU tentu dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan kekuasaan. 

Saat Muktamar NU berlangsung,  Kubu Gus Solah membeberkan, harga dukungan AHWA Rp 15-25 juta Per PCNU. Kelompok tertentu di Muktamar menghendaki metode AHWA dalam proses pengambilan keputusan. AHWA bermakna  metode musyawarah mufakat, bukan one man one vote. Tapi, menurut Gus Solah, AHWA tidak dikenal di dalam AD/ART NU. 

Warga NU diperebutkan paling tidak oleh kader PKB, PPP, dan Golkar. Kalau Muhammadiyah diperebutkan oleh kader PAN, PPP dan Golkar. Kader-kader parpol juga sudah terlihat ikut memperbutkan kekuasaan kekuasaan atau pengurus di Muhammadiyah. 

Kultur transaksioalisme yang sebelumnya tebebas dari ormas-ormas Islam ini, kemudian  diperkenalkan dan dilembagakan oleh kader-kader parpol yang sudah terkena atau tercemar ketika menjadi pejabat pemerintahan, misalnya DPR/DPRD, Menteri, Gubernur/Walikota/Bupati dan juga di dalam dinamika internal parpol itu sendiri. 

Di saat penyelenggaraan Kongres atau Muktamar parpol, perilaku transaksionalisme dapat ditemukan secara terbuka dalam pemilihan pengurus terutama  Ketua Umum. Fenomena parpolisasi ini memproduksi perilaku transaksionalisme dan juga koruptif. Kultur ideologis digusur kultur transaksionalisme, AD/ART disesuaikan kepentingan kelompok transaksionalisme.  

Sebuah organisasi berkultur transaksionalisme pasti 'elitis' tidak berkerja sungguh-sungguh untuk mensejahterakan kebanyakan anggotanya. Karena sumber masalah kultur transaksionalisme ini adalah parpol, maka fenomena parpolisasi di Indonesia harus diminimalkan atau harus ada upaya deparpolisasi antara lain melalui regulasi.(*) 

 

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #muktamar nu   #parpolisasi   #muchtar  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement