Berita

Soroti Vonis Juliari P Batubara, Legislator PKS: Vonis Hakim Mestinya Membuat Efek Jera

Oleh Bachtiar pada hari Selasa, 24 Agu 2021 - 17:37:43 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

tscom_news_photo_1629801463.jpeg

Bukhori Yusuf Politikus PKS (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta telah menjatuhkan hukuman pidana terhadap bekas Menteri Sosial Juliari Batubara selama 12 tahun penjara dan denda senilai Rp500 Juta pada Senin, (23/08/2021).

Vonis ini jauh lebih ringan dibandingkan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara, hingga hukuman mati.

Salah satu pertimbangan hakim meringankan vonis hukuman bekas Mensos tersebut sontak menuai sorotan publik karena dianggap janggal. Hakim berdalih, terdakwa sudah cukup menderita lantaran memperoleh caci maki publik kendati belum ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Merespons hal itu, Anggota Komisi Sosial DPR RI Bukhori Yusuf mengaku prihatin. Bukhori menilai vonis hakim gagal memenuhi rasa keadilan masyarakat lantaran mereka adalah pihak yang paling merasa dirugikan akibat korupsi bantuan sosial yang dilakukan oleh bekas Menteri Sosial itu selama pandemi berlangsung.

“Vonis hakim semestinya mampu memberikan efek jera sekaligus menyiratkan pesan yang ‘kuat dan tajam’ kepada khalayak untuk tidak coba-coba melakukan korupsi di tengah pandemi. Namun sangat disayangkan, vonis itu hanya mengundang publik untuk tidak berhenti mengolok-olok terpidana, tetapi kian melebar dan dikhawatirkan menyasar majelis hakim hingga kehormatan lembaga peradilan itu sendiri,” ujar Politikus PKS itu dalam keterangan tertulis, Selasa (24/08/2021).

Anggota DPR yang pernah duduk di Komisi Hukum ini mempertanyakan dasar pertimbangan hakim yang meringankan vonis terdakwa.

Salah satunya soal terdakwa yang sudah cukup menderita akibat memperoleh makian publik kendati belum ada putusan pengadilan yang inkrah.

Bukhori menilai, pertimbangan hakim tersebut sulit diterima akal sehat. Sementara, menurutnya, ada banyak pertimbangan lain yang patut membuat terdakwa bisa dihukum lebih berat. Misalnya, tindakan memperkaya diri dengan korupsi yang dilakukan saat penanggulangan keadaan bahaya akibat bencana pandemi. Tidak hanya itu, praktik lancung ini juga telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 14,5 miliar.


Dalam Pasal 2 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan dalam Ayat 1 dan 2;

(1)  Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
 
Dalam perkembangannya, UU Nomor 31 Tahun 1999 direvisi oleh UU nomor 20 tahun 2001 sehingga berdampak pada lampiran penjelasan mengenai Ayat 2 Pasal 2 yang turut berubah. Meskipun begitu, substansinya tetap sama. Hal ini bisa dilihat dalam lampiran penjelasan terbaru sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.  

“Putusan ini sangat mengherankan. Semestinya makian publik menjadi salah satu pertimbangan hakim untuk perberat hukuman, bukan sebaliknya. Pasalnya, makian publik sebenarnya muncul akibat rasa kekecewaan dan kemarahan mereka lantaran haknya dirampas oleh pejabat yang semestinya melindungi. Hakim seyogyanya juga harus cermat melihat ini sebagai ekspresi dari suasana batin mereka yang menjerit," sambungnya.

Namun anehnya, demikian Bukhori melanjutkan, pertimbangan serupa tidak berlaku bagi terdakwa kasus korupsi lainnya kendati setiap terdakwa kasus korupsi bisa dipastikan memperoleh makian publik, keluhnya.

Bukhori merujuk pada vonis hakim terhadap terpidana Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang divonis hukuman penjara seumur hidup karena kasus suap dan gratifikasi terkait sengketa pilkada. Selain itu juga vonis terhadap Hary Prasetyo, Direktur Utama Jiwasraya, yang dijatuhi hukuman 20 tahun penjara akibat kasus korupsi Jiwasraya sehingga merugikan negara sebesar Rp 16,8 Triliun.

tag: #juliari-batubara  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement