Opini

Pancasila dan Dialektika Demokrasi Kontemporer (3)

Oleh Ronny P. Sasmita (Pemerhati Ekonomi Politik, Analis Ekonomi Global di Financeroll Indonesia, Jakarta) pada hari Selasa, 09 Jun 2015 - 11:07:29 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

83unnamed_1433806951361.jpg

Garuda Pancasila (Sumber foto : Istimewa)

Bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa mereka bisa menginvasi dunia politik? Jawabannya adalah karena biaya demokrasi kian hari kian mahal. Biaya kontestasi demokrasi semakin berlipat, terutama setelah dibukanya kran kompetisi bebas dan kran pemilihan langsung. Dengan kondisi ini, para politisi dipastikan akan membutuhkan anggaran yang besar untuk memenangkan pertarungan politik. 

Disinilah irisan atau trade off antara pemilik modal dan politisi terjadi. Dimana para pemilik modal menghujani pentas politik dengan pembiayaan-pembiayaan yang tak terbatas yang pada akhirnya harus dibalas dengan kebijakan-kebijakan pro pemilik modal. Sehingga perkembangannya secara statistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas Pikkety dalam buku “Capital in The Twenty Century” dan oleh Stiglitz sendiri di dalam “The Price of Inequality” atau oleh Robert Reich dalam “Inequality for All”, tingkat pertumbuhan kekayaan kelompok ekonomi teratas jauh melampui tingkat pertumbuhan gaji para pekerja (wage) dan tingkat pertumbuhan standard hidup layak para pekerja (standard of living). 

Menurut para ekonom ini, ada pergerakan tingkat pertumbuhan yang tidak sinkron antara kelompok masyarakat kaya dengan masyarakat menengah ke bawah. Di satu sisi kekayaan para konglomerat terus tumbuh setiap tahun dengan angka yang cukup boombastis, sementara itu disisi lain gaji karyawan dan standar hidup layak para pekerja nyaris stagnan. Sehingga menimbulkan jurang (cliff) yang sangat tajam antara masyarakat kaya (the have) dengan masyarakat menengah ke bawah. 

Memang ketiga ekonom ini sepakat, bahkan Robert Shiller, peraih nobel ekonomi tahun 2014, dan Paul Krugman, peraih nobel ekonomi lainya, yang sangat bergairah membela pasar finansial, juga ikut bersepakat bahwa harus ada intervensi langsung pemerintah terhadap kehidupan masyarakat yang kurang mampu, yakni dengan kebijakan-kebijakan pemberian insentif agar masyarakat bisa mengalami mobilisasi sosial. 

Tapi hanya beberapa saja dari ekonom-ekonom terkemuka di Amerika yang mengganggap kapitalisme sedang mengidap penyakit akut, seperti yang dikemukakan Joseph Stiglitz. Bahkan hasil penelitian terbaru bersama kolega-koleganya di Roosevelt Institute dengan judul “Rewriting The Rules of The American Economy and An Agenda for Growth and Shared Prosperity”, Mei 2015, mempertajam sisi empirik dari eksistensi virus destruktif yang ada dalam sistem ekonomi kapitalis. 

Penyakit ini secara terus-menerus memperdalam jurang ketimpangan dan memperlebar kesempatan bagi kelompok masyarakat terkaya untuk terus memperkaya diri dan masyarakat miskin malah semakin miskin, baik melalui rent seeking economic yang eksploitatif maupun melalui hubungan ekonomi politik yang patrimonialistik.(bersambung

 

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #pancasila   #roni p sasmita   #liberal  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement