Opini

Pancasila dan Dialektika Demokrasi Kontemporer (4)

Oleh Ronny P. Sasmita (Pemerhati Ekonomi Politik, Analis Ekonomi Global di Financeroll Indonesia, Jakarta) pada hari Selasa, 09 Jun 2015 - 11:54:31 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

36unnamed_1433806951361.jpg

Garuda Pancasila (Sumber foto : Istimewa)

Dari sisi politik, Francis Fukuyama, penulis buku kontroversial “The end of History and The Last Man” tahun 1992, yang sebelumnya begitu percaya diri dan agak jumawa mengatakan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme adalah tujuan akhir dari evolusi peradaban manusia, akhirnya meralat pendiriannya. 

Dalam karya-karya terbarunya, baik “ The Origin of Political Order – terbit tahun 2011” maupun “Political Order and Political Decay – terbit tahun 2014”, Frank, panggilan akrab beliau, mulai pesimis dengan perkembangan mutakhir demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas. Kapitalisme dan demokrasi liberal telah memperlihatkan tanda-tanda yang kurang baik yang bisa merusak idealitas demokrasi itu sendiri. 

Frank, sebagaimana Joseph Stiglitz, menyayangkan berkembangnya model “rent seeking economic” yang ternyata berimbas buruk pada dunia politik. Ekonomi rente yang secara terus-menerus memberi peluang besar terhadap para pemilik modal untuk mengakumulasi kekayaanya malah mendorong terbentuknya pola patrimonialistik (political phatrimony) dalam sistem politik. 

Menurutnya, model ekonomi rente mendorong terbentuknya relasi politik patron-klien (clientalism patern) yang sayangnya malah menumpulkan responsivitas pemerintah terhadap rakyatnya. Para pemilik modal dengan mudah menyetir arah kebijakan pemerintah, bahkan mereka mempunyai kemampuan memaksa di dalam proses pembuatan kebijakan karena piutang politik selama masa kontestasi yang harus dibayar oleh para politisi. 

Melorotnya responsivitas pemerintah (the govern) terhadap kepentingan masyarakat pemilih berimbas pada memburuknya kualitas akuntabilas publik. Pemerintah merasa jauh lebih bertanggung jawab kepada kemajuan usaha dan akumulasi modal segelintir orang ketimbang kepada rakyat. Sehingga akhirnya demokrasi sebagai sebuah imperatif moral dan sebagai sistem instrumental yang mendorong aktualisasi kebebasan dan kemanusiaan malah terdegradasi sedemikian rupa. 

Demokrasi kembali ke sistem scumpeterian (merujuk pada pemikir ekonomi fenomenal Joseph Scumpeter) yang sangat teknis dan prosedural. Kondisi seperti ini pula yang kemudian disinyalir oleh Larry Diamond sebagai penyebab tersendatnya proses konsolidasi demokrasi di banyak negara dan mengakibatkan resesi demokrasi secara massif di berbagai belahan dunia yang sebelumnya sempat tersapu oleh gelombang demokratisasi ketiga versi Samuel P. Huntington. 

Relasi negara dan para pemilik modal semakin hari semakin mesra atas nama demokrasi. Disatu sisi, rakyat tetap dibiarkan memilih secara bebas, tapi disisi lain apapun pilihan rakyat pada akhirnya hanya menjadi basa basi politik untuk memperbaharui aktor-aktor yang akan meneruskan pengabdiannya kepada pemilik modal dan pasar.(bersambung) 

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

 

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #pancasila   #roni p sasmita   #liberal  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement