Berita

DPR Dorong Penguatan Stabilitas Nilai Tukar Rupiah

Oleh Bachtiar pada hari Jumat, 01 Mei 2020 - 23:35:37 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

tscom_news_photo_1588350937.jpg

Putri Anneta Komarudin Politikus Golkar (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)– Nilai tukar (kurs) rupiah pada Kamis (30/4) ditutup menguat 2,7% menjadi Rp 14.882 
per USD dari sebelumnya Rp 15.295 per USD.

Kurs rupiah sempat mengalami depresiasi cukup dalam hingga 
di atas Rp 16.620 per USD pada pertengahan Maret lalu, seiring eskalasi wabah pandemi COVID-19 di 
Indonesia.

Anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin meminta agar 
momentum penguatan kurs rupiah terus dijaga hingga bergerak ke arah fundamentalnya.

“Sebelumnya, kurs rupiah mengalami tekanan seiring merebaknya pandemi COVID-19 yang memicu
kepanikan investor, sehingga mendorong capital outflows dan pengetatan USD di pasar global," ungkap Politikus Golkar itu dalam keterangan pers, Jumat (01/05/2020).

Selama ini pergerakan nilai rupiah cenderung undervalue. Padahal pada kuartal pertama, kata dia, defisit transaksi perdagangan masih lebih rendah dibandingkan perkiraan yaitu 1,5% dari 2,5-3% terhadap PDB.

"Namun, saat ini kurs rupiah terus menguat ke arah fundamental value yang disebabkan perbedaan imbal hasil (yield)
yang cukup tinggi, baik dalam maupun luar negeri, sehingga memicu inflows”, ujar Puteri.

Puteri menilai penguatan kurs rupiah tidak terlepas dari peran Pemerintah maupun otoritas terkait seperti BI, OJK, dan LPS dalam merumuskan operasi moneter dan fiskal.

Selama periode Januari-April, Bank Indonesia telah melakukan kebijakan quantitative easing (QE) atau pelonggaran makro prudensial dengan injeksi likuiditas perbankan sebesar Rp 386 triliun.

Selain itu, Bank Indonesia juga akan kembali melakukan
quantitative easing sebesar Rp 117,8 triliun pada awal bulan ini.

Perlu diperhatikan bahwa kebijakan quantitative easing berbeda dengan mencetak uang.

Quantitative easing merupakan kaidah kebijakan moneter yang dilakukan apabila kondisi likuiditas perbankan 
berkurang, sehingga diperlukan penambahan likuiditas.

Penambahan dilakukan melalui penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), term repo perbankan, serta pembelian SBN di pasar sekunder.

Sementara, istilah 
mencetak uang adalah ketika bank sentral menambah uang yang beredar namun tidak dapat diserap.

Misalnya ketika bank sentral mengedarkan uang dengan membeli surat utang pemerintah yang tidak tradable dan suku bunganya mendekati 0%, sehingga dapat menimbulkan inflasi yang signifikan.

“Saya mengapresiasi intervensi Bank Indonesia melalui kebijakan quantitative easing dengan total 
mencapai Rp 503,8 triliun untuk mengurangi ketatnya dolar di pasar, sehingga dapat membantu stabilisasi 
nilai tukar rupiah," ujarnya.

Namun, menurutnya, operasi moneter ini juga harus didukung dengan kebijakan fiskal oleh pemerintah, maupun kebijakan sektor keuangan dari OJK dan LPS.

"Untuk itu, masing-masing entitas harus memiliki kesepahaman yang sama atas kebijakan pelonggaran tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan 
terus memperkuat bauran kebijakan dalam rangka stabilisasi nilai tukar dan pemulihan ekonomi,” tutur 
Puteri.

Beberapa hari lalu, pemerintah telah mengumumkan paket stimulus fiskal untuk perlindungan dan pemulihan ekonomi bagi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang terdampak COVID-19.

Kebijakan tersebut diantaranya terdiri atas insentif pajak, relaksasi dan restrukturisasi kredit, hingga perluasan pembiayaan modal kerja.

“Jika intervensi BI adalah dengan mendukung likuiditas perbankan, maka peran pemerintah adalah melalui
pelonggaran aspek fiskal yang bertujuan untuk menggerakkan sektor riil."

"Stimulus fiskal ini diharapkan 
dapat menjadi sentimen positif bagi investor untuk mulai berinvestasi ke pasar domestik sehingga kembali 
memicu capital inflows,” tutup Puteri.

tag: #rupiah  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement