Berita

Kasus BLBI

Jaksa KPK Dinilai Tak Memahami Proses Pemberian SKL

Oleh M Anwar pada hari Senin, 17 Sep 2018 - 16:54:36 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

29AhmadYani.jpg.jpg

Ahmad Yani (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Tim penasihat hukum terdakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) menilai, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK tidak memahami proses pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada pemilik Bank BDNI. Akibatnya, dakwaan dan tuntutan jaksa terhadap SAT keliru.

Anggota tim penasehat hukum SAT, Ahmad Yani mengungkapkan bahwa tidak ada satupun fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, yang bisa membuktikan bahwa pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim (SN) sebagai pemegang saham pengendali BDNI tersebut melawan hukum.

Menurut Yani, JPU juga mencampuradukkan antara kedudukan SAT sebagai Sekretaris KKSK dengan Ketua BPPN. SAT baru diangkat sebagai Ketua BPPN sejak tanggal 22 April 2002. Sementara Keputusan
KKSK atau kebijakan Pemerintah terkait PKPS maupun Hutang Petambak sudah terjadi sebelum SAT menjabat Ketua BPPN.

Yani bahkan menuding JPU telah membuat penyesatan dengan menempatkan posisi SAT lebih tinggi, padahal secara hukum dan kelembagaan KKSK memiliki kewenangan lebih tinggi dibandingkan BPPN.

“Itu artinya SAT tidak bisa dituntut telah melanggar hukum formil karena dia hanya melaksanakan perintah KKSK," kata Yani dalam keterangannya, Sabtu (15/9/2018).

Tim Penasihat Hukum pada Jumat (14/9/2018) telah membacakan pledoi sebanyak lebih dari 500 lembar dengan mengungkapkan fakta-fakta hukum penting yang membantah tuntutan JPU. 

Sehari sebelumnya SAT telah membacakan pledoinya secara pribadi setebal 110 halaman dengan judul 'Perjalanan Menembus Ruang Waktu, Ketidakadilan dan Ketidakpastian: Mengadili Perjanjian Perdata MSAA
(Master Settlement and Acquisition Agreement) BDNI'. 

Sidang lanjutan untuk pembacaan putusan hakim dijadwalkan Senin, 24 September 2018. Anggota Tim Penasihat Hukum lainnya, Jamin Ginting mengungkapkan perkara yang didakwakan dan ditun
tut kepada SAT tentang dugaan misreprentasi oleh SN atas perjanjian perikatan perdata berupa MSAA yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemerintah cq BPPN dengan SN. 

Dalam fakta persidangan, katanya, MSAA terbukti sebelumnya telah diubah 5 (lima) kali pada tahun 1998 sampai dengan 1999. Namun setelah Sjamsul Nursalim menerima Release & Discharge (R&D) tanggal 25 Mei 1999 tentang pembebasan Kewajiban BLBI dan BMPK, tidak pernah ada lagi perubahan perjanjian MSAA, mengingat SN telah menyelesaikan seluruh kewajibannya yang dibuktikan dengan penerimaan Surat Pembebasan Kewajiban BLBI dan BMPK atau Release & Discharge tersebut.

“Terdakwa tidak melakukan penghapus-bukuan dan atau penghapus-tagihan atas Hutang Petambak sebagaimana yang didalilkan oleh JPU," jelasnya.

"Dalam persidangan terbukti bahwa persetujuan penghapus-bukuan Hutang Petambak dilakukan oleh KKSK berdasarkan Keputusan KKSK tanggal 13 Februari 2004 dan terdakwa tidak pernah menindaklanjuti perintah KKSK tersebut di atas, karena masa kerja BPPN telah berakhir (sesuai dengan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 2004) tanggal 27 Februari 2004," ungkapnya.

Tim Penasihat Hukum pun menegaskan “SAT tidak terbukti secara hukum melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma PT. DCD dan PT. WM kepada Konsorsium NEPTUNE dari Group CHAROEN POKP?
HAND sebesar Rp220 miliar. Dalam fakta persidangan, terbukti penjualan hak tagih Hutang Petambak dilakukan oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Perseroan) pada tahun 2007 berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan RI No. 30/KMK.01/2005”.

Terkait dengan adanya kerugian negara, Jamin menyatakan, jika quad-non LHP BPK tahun 2017 digunakan untuk menghitung kerugian negara, maka tempus delicti (waktu perbuatan) dalam audit BPK LHP tahun 2017 timbul akibat penjualan utang petambak sebesar Rp 220 miliar oleh PT PPA pada 2007. 

"Peristiwa tersebut terjadi setelah terdakwa tidak lagi menjadi Ketua BPPN dan bukan dilakukan oleh terdakwa," kata dia.

Fakta baru yang terungkap adalah Jika hak tagih utang petambak tidak dijual pada tahun 2007, maka Pemerintah cq Menteri Keuangan masih memiliki aset jaminan lahan petambak yang dijaminkan oleh 11.000
petambak, dimana berdasarkan Perjanjian Kredit antara BDNI dan petambak, masing-masing petambak menjaminkan tanah tambak seluas ± 0,6 hektar atau 6.000 m2 per petambak. 

"Sehingga total untuk 11.000 petambak seluas 60.000.000 m2 dan karenanya nilai aset jaminan petambak sekarang berkisar Rp 7,9 triliun sampai dengan Rp 12,1 triliun," ucap dia mengakhiri.(yn)

tag: #kasus-blbi   #korupsi-blbi  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement