Editorial

Mengapa Mengutamakan Dolar, Bukan Rupiah

Oleh Bani Saksono pada hari Senin, 22 Des 2014 - 10:09:17 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

61Rp 100 ribu.jpg

Uang pecahan Rp 100 ribu (Sumber foto : bi.go.id)

INDONESIA sudah menjadi bagian penting dari pergaulan dunia. Terbukti, Indonesia banyak dilibatkan menjadi anggota atau bahkan pimpinan dari berbagai lembaga internasional di berbagai bidang, politik, sosial, ekonomi, perdagangan, olah raga, juga kebudayaan.

Orang menganggap penting Indonesia karena berbagai hal. Misalnya, karena Indonesia berpenduduk keempat terbanyak di dunia, setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Itu berdasarkan data yang dimuat di Wikipedia. Pada Maret 2014, jumlah penduduk Indonesia dicatat sebanyak 253,6 juta jiwa.

Masih banyak barang kebutuhan dan jasa yang isa dijual ke Indonesia. Apalagi, masyarakat Indonesia masih banyak yang suka branded, yaitu barang bermerek dari luar negeri. Padahal, mereka tidak tahu bahwa barang itu sebetulnya berasal dari Indonesia.

Bagi orang asing, Indonesia ibarat surga. Semua serba mudah dilihat dari peraturan yang diterapkan, amat sangat longgar, yang penting mereka bawa duit banyak. Murah, karena berbagai barang kebutuhan, bahkan hingga properti, bisa dibeli karena nilai tukar mata uang mereka jauh lebih tinggi di rupiah.

Begitu longgarnya peraturan perundang-undangan yang ada, pemerintah pun membiarkan transaksi tidak dengan rupiah, tapi boleh dengan dolar AS. UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar ternyata mandul. Barang-barang impor masih banyak yang dibiarkan membanjiri pasar lokal tanpa dilengkapi dengan buku petunjuk berbahasa Indonesia. Kalaupun ada petunjuknya, tidak lengkap dan jelas.

Sejak era reformasi, banyak peraturan perundang-undangan ditunggangi oleh kepentingan kaum liberal atau istilah barunya adalah neolib. Semua dibuat agar bagaimana memudahkan asing bisa berkuasa di Indonesia. Di masa penjajahan dulu, pemerintah yang berkuasa memang asing. Sekarang de jure, pemerintahnya ya orang Indonesia, tapi secara de facto, berbagai sendi kehidupan, utamanya di sektor perekonomian, keuangan, perbankan, telekomunikasi, diserahkan atau sudah dikuasai asing.

Masyarakat awam gampang melihatnya, tinggal berapa bank lagi yang masih dipunyai pengusaha pribumi, operator seluler mana yang murni milik Indonesia baik swasta maupun pemerintah, kapal-kapal yang berlalu lalang menguasai jalur transportasi di perairan Nusantara mayoritas milik asing. Kalaupun berbendera merah putih, itu hanya kamuflase agar leluasa masuk ke Indonesia.

Kita tidak bisa dengan mudah mencari buah-buahan dan sayur-mayur lokal di pasar lokal, apalagi di pasar swalayan moderen. Bisnis franchise asing makin menjamur bak cendawan di musim hujan.

Bisakah, Presiden Jokowi, yang pernah dinobatkan sebagai walikota terbaik ketiga dunia versi The City Mayors Foundation itu mengembalikan kedaulatan negeri ini kepada bangsanya sendiri. Itu adalah harapan besar rakyat Indonesia yang kini menjadi beban di pundak Kabinet Jokowi-JK. Sebentar lagi tantangan akan makin dahsyat menjelang dideklarasikannya Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun depan, 2015. (b)

tag: #Rupiah melemah dari dolar AS  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement