Editorial

Saatnya Menganakemaskan Komoditas Lokal

Oleh Bani Saksono pada hari Minggu, 21 Des 2014 - 12:07:11 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

24beras-petani-bulog.jpg

Petani memanen beras, masih tak mencukupi kebutuhan nasional, Jadi harus impor. (Sumber foto : bulog.go.id)

HARUS ada langkah kongkret yang dllakukan pemerintah untuk membebaskan masyarakat dari keterpurukan ekonomi akibat merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Selain merevisi besaran asumsi dasar perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 bersama DPR, ada banyak hal yang bisa dilakukan para menteri.

Di antaranya adalah bagaimana mengendalikan neraca perdagangan agar surplus. Itu yang dilontarkan Menteri Keuangan Bambang Sumantri Brodjonegoro saat berbicara dalam acara Musrenbangnas 2015 di Jakarta pekan ini.

Bagaimana caranya, Bambang mengajak pemerintah daerah (Pemda) untuk meningkatkan kemandirian produksi dalam negeri. Dengan cara itu, diyakini konsumsi dalam negeri dapat dicukupi dari pasokan komoditas dalam negeri pula. Otomatis, angka impor akan menurun.

Senada dengan upaya memperkuat basis komoditas lokal tersebut, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang berada di bawah Kementerian Perdagangan sedang menggencarkan didirikannya Pasar Lelang Komoditas (PLK) di daerah-daerah.

Pentingnya PLK, kata Sutrisno Edi, adalah untuk memperpendek mata rantai perdagangan, memberikan kepastian harga, kualitas, kuantitas, serta memberikan jaminan penyerahan atau transaksi tepat waktu, adanya tata cara penyimpanan produk pertanian dengan biaya lebih murah. PLK sudah berdiri di Jawa Tengah, Bali, Jawa Timur dan Jawa Barat. Penyelenggara PLK diupayakan berbentuk koperasi, yaitu Koperasi Pasar Lelang (KPL).

Tujuan revitalisasi PLK dan KPL adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani dan pedagang. Dalam catatan Bappebti, ada sejumlah komoditas unggulan denga nilai transaksi terbesar nasional. Yaitu, beras sebanyak 28.867 ton, jagung 30.501 ton, ikan nila 1.032 ton, coklat 739 ton, dan daging sapi 2.398 ton dengan total transaksi pada kurun Januari-November 2014 mencapai Rp 693,7 miliar.

Untuk menggenjot komoditas lokal, Kementerian Koperasi dan UKM sudah lama menggerakkan program one village one product (OVOP) atau satu daerah satu produk. Dengan pola OVOP, masing-masing daerah akan mempunyai produk unggulan yang beda dengan daerah lain.

Secara politik, progra itu mendapat dukungan dari kalangan wakil rakyat di DPR. Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron mengatakan, tak hanya beras dan jagung, buah impor juga telah lama membanjiri pasar domestik. Dengan tingginya nilai dolar AS atas rupiah, tentu akan memicu kenaikan harga komoditas impor tersebut.

Menurut Herman, ini adalah kesempatan emas bagi produk lokal untuk menggantikan posisi komoditas impor. Karenanya, pemerintah haruslah memanfaatkan kesempatan emas itu untuk menggenjot produktivias lokal yang tentu juga harus berkualitas agar punya daya saing dengan barang impor. Kesempatan emas itu tentu juga dalam rangka mewujudkan swasembada pangan.

Politisi Suharso Monoarfa pun mendesak pemerintah untuk berani dan tegas mewajibkan seluruh transaksi di dalam negeri dengan mata uang lokal, yaitu rupiah. Bukankah hal itu sudah dilakukan di semua negara di dunia. Kebijakan itu diyakini bisa mendongkrak nilai tukar rupiah.

Persoalannya, apakah pemerintah punya keberanian dan grand design untuk melawan kaum spekulan dan mafia perdagangan komoditas yang selalu mengkondisikan Indonesia selalu bergantung pada produk impor. (b)

tag: #beras petani komoditas pangan impor  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement