Opini

Tunggu Kebijakan Minyak Murah dan Jebloknya Rupiah

Oleh Fuad Al Athor (Tangerang) pada hari Rabu, 17 Des 2014 - 08:20:51 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

88tanki gas 3.eko.jpg

tangki minyak Pertamina (Sumber foto : Eko S Hilman/TeropongSenayan)

BENARKAH kesempatan emas rendahnya harga minyak mentah di pasaran internasional tak bisa dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Dihimpit oleh lemahnya nilai tukar rupiah terhadap US dolar membuat pemerintah kelimpungan menyikapi situasi. Padahal, dengan harga minyak yang mencapai US$ 57 per barel seharusnya pemerintah bisa mengambil langkah-langkah yang diperlukan, tidak hanya untuk mendapatkan keringanan pada beban APBN, akan tetapi juga guna mengamankan stok nasional sebanyak mungkin.

Harga minyak dunia terjun bebas di akhir tahun ini, menyusul lonjakan produksi minyak serpih alias shale oil di AS. Selain itu, pertumbuhan permintaan akan minyak di Asia dan Eropa juga tersendat, sementara produsen besar di Timur Tengah yang tergabung di OPEC –yang paling ngotot adalah Arab Saudi- enggan melakukan pemangkasan pada pasokan global.

Pada pembukaan perdagangan Senin (15/12) harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari 2015 dibuka melemah 1,28 persen ke posisi US$ 57,07 per barel. Sementara harga minyak Brent untuk pengiriman Januari 2015 berada di posisi US$ 62,08 per barel.

Terjun bebasnya harga ini sejatinya adalah perang harga di pasar minyak antara negara-negara Organization Petroleum Exporting Countries (OPEC) dengan Amerika Serikat (AS). Booming produksi minyak serpih (shale oil) AS menyebabkan pasokan minyak dalam negeri AS melimpah. Kuota impor minyak AS turun drastis. Dampaknya harga komoditas ini turun ke level terendah dalam empat tahun terakhir.

Otomatis penurunan harga ini menggerus pendapatan negara-negara yang selama ini bergantung pada minyak, termasuk negara anggota OPEC. Negara OPEC yang paling tergantung pada minyak adalah Venezuela dan Iran.

Dasar dari hitungan perang harga ini adalah perkiraan dengan harga di bawah US$ 70 per barel Amerika masih akan lebih memilih mengonsumsi minyak impor sebab rata-rata biaya produksi Shale Oil masih berada di antara US$ 70 sampai US$ 77 per barel. Sementara negara seperti Arab Saudi produksi di darat (on shore) hanya menelan biaya produksi sekitar US$ 10-17 per barel. Ini adalah sebuah kekuatan besar yang mampu menentang AS.

Di sisi lain, pasar minyak Asia seperti Jepang dan Korea malah melirik USA untuk mendapatkan pasokan minyak nasionalnya. Mereka mulai mengimpor dari USA sebab dianggap lebih murah ongkos pengirimannya ketimbang membeli ke Timur Tengah. Hal ini menambah potensi perang harga semakin menghebat. Pada September dan Oktober, Korea Selatan telah mengimpor 1,6 juta barel minyak dari AS dan Kanada. Lalu, Jepang juga mulai mengimpor minyak dari AS sejak Oktober silam. Hal itu membuat produsen Timur Tengah terus memotong harga demi pangsa pasar.
Posisi Indonesia terhadap situasi harga minyak global ini?

Indonesia masih akan sulit untuk ikut menikmati penurunan harga minyak dunia. Penyebabnya tak lain adalah tingkat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) Indonesia yang masih tinggi tidak menyurutkan impor minyak. Apalagi, kurs rupiah masih melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), sehingga membuat beban impor juga tinggi. Pada hari selasa (16/12/14) rupiah mencapai Rp. 12.900 per US Dolar. Ini nilai paling jeblok semenjak 1998 yang sampai di kisaran Rp. 16.000 per dolar AS. Pelemahan ini semakin mengantarkan ekonomi Indonesia ke ambang krisis atau kondisi ekonomi rentan.

Untuk bisa keluar dari kategori ekonomi rentan, Indonesia harus mampu memanfaatkan pelemahan rupiah untuk meningkatkan ekspor manufaktur. Namun, hal itu pun belum menjamin keuntungan yang lebih bagi Indonesia. Ini karena impor bahan baku juga akan meningkat. Kendati demikian, penurunan harga minyak dunia dipastikan akan menurunkan defisit transaksi berjalan.

Penguatan nilai tukar rupiah sangat diperlukan. Rupanya prediksi pasar bahwa rupiah akan menguat jika Jokowi terpilih meleset. Hal ini tentu dipengaruhi oleh kondisi politik dalam negeri. Meskipun ada analis yang menilai bahwa penguatan ekonomi di AS juga sebagai faktor menguatnya nilai dolar AS.

Mengentalnya kubu oposisi dalam KMP disinyalir menjadi penyebab yang membuat pasar agak khawatir akan stabilitas politik dalam negeri. Beberapa momentum politik di DPR menjadi gambaran politik Indonesia masih fragile. Dan ini akan sangat berpengaruh pada proses pengajuan APBN-P 2015 mendatang.

Pemerintahan Jokowi dinilai gagal memanfaatkan momentum “hangatnya” pemerintahan baru untuk segera melakukan konsolidasi di level elit politik. Politik yang semasa kampanye dititik-beratkan pada alur massa pasca pilpres alur berubah menjadi antara elit. Politik mobilisasi massa beralih pada politik negosiasi. Di sinilah letak lingkungan strategis pemerintahan Jokowi yang terlambat dikondisikan. Bahkan, kepresidenan terkesan cuek dan abai terhadap terbelahnya politisi Senayan.

Dampaknya, Pemerintahan akan sulit untuk segera memberikan stabilitas pada pasar yang cenderung wait and see pada keadaan makro politik dalam negeri. Agar tak terjebak di kemudian hari ada baiknya kepresidenan segera membuat langkah-langkah agar semua cabang Trias Politika berjalan dengan bergotong royong. Sebagai kepala pemerintahan ia boleh-boleh saja tancap gas kabinetnya dengan sedikit mengejek “kekanak-kanakan” DPR, namun sebagai kepala negara ia berkewajiban menciptakan kondusivitas semua cabang kekuasaan.

Sementara di sisi kebijakan energi, pemerintah masih belum akan membuat langkah-langkah yang radikal mengingat hambatan utamanya adalah ada pada minimnya infrastruktur. Bagaimana hendak menimbun stok minyak mentah yang sedang murah, Kalau kapasitas kilang saja masih punya 7 kilang dan yang bisa dioperasikan hanya 6, semuanya bisa menampung sekitar 800 ribu barel.

Dengan kondisi seperti ini pemerintah tak akan mengambil langkah yang menentukan pada saat-saat perang harga minyak mentah ini. Sangat disayangkan memang. Tapi menjaga kestabilan ekonomi makro yang tampaknya sangat tergantung pada stabilitas politik ini juga perlu dijadikan prioritas oleh pemerintah. Jangan sampai kita terjatuh pada krisis ekonomi untuk kali kedua seperti pada tahun 1998 lagi. Wassalam. (b)

(Fuad al Athor, tinggal di Tangerang, adalah associate writers of LiPI (Lingkar Pemikir Indonesia)

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #Harga Minyak dunia   #rupiah anjlok  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement