Bagikan Berita ini :
Jakarta International Container Terminal (Sumber foto : Istimewa)
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Keputusan sepihak perpanjangan kontrak PT Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh Mantan Dirut Pelindo II RJ Lino yang didukung sepenuhnya oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, telah melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan yang dilanggar diantaranya UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
“Selain melanggar peraturan perundangan, perpanjangan kontrak JICT juga merugikan negara seperti nilai jual perpanjangan pada tahun 2015 sebesar US$ 215 juta, lebih kecil dari nilai penjualan 20 tahun lalu sebesar US$ 231 juta," kata Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Fahmy Radhi saat dihubungi, Jumat (25/12/2015).
Fahmy juga menyebutkan, perpanjangan kontrak JICT juga melanggar beberapa keputusan seperti Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-101/MBU/2002 tentang Penyusunan RKAP dan Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-102/MBU/2002 tentang penyusunan RJPP dan RKAP, serta UU Nomor 17 Tahun 2008 dan PP Nomor 61 Tahun 2009 tentang Pelayaran dalam hal perpanjangan kontrak yang melibatkan pihak ketiga.
Menurut Fahmy, seharusnya, sebelum kontrak diperpanjang, harus mendapatkan ijin konsesi terlebih dahulu dari Kementerian Perhubungan cq Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok.
Oleh karenanya, ia berharap pemerintah membatalkan kontrak perpanjangan JICT yang telah ditandatangani Direktur Utama Pelindo II RJ Lino pada 27 Juli 2015 dan meminta kepada Rini Soemarno untuk mengundurkan diri. Hal ini karena Menteri Rini dianggap telah mendukung upaya Direktur Utama Pelindo II dalam perpanjangan kontrak JICT.
Fahmy juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut secara tuntas semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan perpanjangan JICT yang diduga kuat melanggar perundangan dan merugikan negara.
“Awalnya 100% saham JICT dimiliki oleh negara yang dikelola oleh PT Pelindo II sebagai representasi negara. Pada saat krisis moneter 1997, atas tekanan dan desakan IMF, pemerintah melakukan privatisasi dengan menjual JICT kepada perusahaan asing, Huntchison Port Holdings (HPH) yang berkedudukan di Hongkong melalui pelelangan terbuka,” ujar Fahmy.
Fahmy menjelaskan, JICT dijual seharga US$ 243 juta, perubahan komposisi kepemilikan saham baru, HPH menguasai 51% aset, sedangkan Pelindo II sebesar 49% dengan jangka waktu konsesi selama 20 tahun dimulai pada tahun 2009 dan berakhir pada tahun 2019.
“Sejak 27 Juli 2012 Direktur Utama Pelindo II RJ Lino sudah merintis proses perpanjangan kontrak JICT, namun lantaran Menteri BUMN dan Menteri Perhubungan pada masa Pemerintahan SBY tidak memberikan ijin, RJ Lino belum bisa memperpanjang kontrak. Namun pada 9 Juni 2015, Menteri BUMN Rini Soemarno justru mengeluarkan ijin prinsip perpanjangan kontrak,” kata Fahmy.
Hanya berbekal ijin prinsip Menteri BUMN tersebut, tanpa ijin konsesi otoritas pelabuhan dari Menteri Perhubungan, RJ Lino nekat untuk memutuskan menandatangani kontrak JICT pada 7 Juli 2015.
“Padahal perpanjangan kontrak itu tidak tercantum dalam RKAP dan RUPS Pelindo II 2015,” imbuhnya.
Sementara, menurut Fahmy, komposisi saham tidak berubah, Pelindo II sebesar 48,9%, Kopegmar 0,10%, dan HPH tetap memegang saham mayoritas sebanyak 51%. Hingga jangka waktu berakhirnya konsesi menjadi tahun 2039, dengan nilai penjualan aset perpanjangan kontrak sebesar US$ 215 juta. (mnx)
tag: #jict #pelindo-iiBagikan Berita ini :