Opini

Tinjauan RKUHP: Perubahan Pendekatan Hukum Sebagai Keniscayaan

Oleh Ali Mustopa Pemerhati Hukum dari The Indonesian Reform pada hari Jumat, 18 Sep 2015 - 19:41:14 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

61Ali-M.jpg

Ali Mustopa (Sumber foto : Ist)

TEROPONGSENAYAN - Enam Puluh Sembilan tahun Indonesia merdeka, baru saat ini pemerintah mengajukan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kini lagi dbahas oleh DPR. Meski kita belum sepenuhnya mampu merumuskan hukum pidananya sendiri, masih erat berpaduan dengan sumber hukum common law (Eropa Continental), tetapi subtansi RKUHP sudah cukup progresif dengan mengakui eksistensi hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat, dan merujuk hasil seminar hukum tahun 1963 diartikan sebagai hukum adat dan agama.

Mencermati hukum pidana hanya melalui pendekatan individualisme dan positivisme (legisme), jelas cara pandang salah. Terlebih menilik setting sosial historis yang melahirnya hukum pidana di barat berbeda dengan kondisi tanah air.

Dalam KUHP perbuatan tertentu diancam pidana, tetapi dalam budaya tertentu di Indonesia dianggap bukan perbuatan terlarang. Misal melarikan perempuan untuk dinikahkan dalam budaya sasak. RKUHP juga memberikan ruang seseorang berpeluang dibebaskan dari tuntuan hukum penjara, jika ada kesepakatan damai antara korban dan pelaku pidana setelah membayar ganti kerugian atau menurut hukum adat atau hukum yang hidup di masyarakat. Dengan adanya lingkup pengaturan tersebut maka dapat mencegah over kriminalisasi.

Namun berbeda halnya dengan pengaturan delik susila terkait soal kejahatan nelacuran dan mucikari. Harus dlihat bukan sekedar persoalan ranah moral dan pribadi semata. Sebab, akibat merebaknya hubungan sek bebas diluar ikatan pernikahan, menimbulkan penyakit menular berbahaya sipilis sampai HIV-AIDS. Berdasarkan laporan Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan atas Kasus HIV-AIDS di Indonesia, bahwa penyebaran dan peningkatan penyakit HIV-AIDS semakin mengkuatirkan, dan berpotensi meruntuhkan tatanan sosial kehidupan berbangsa dan bernegar. 

Jadi, kejahatan susila jangan digeneralisir sekedar persoalan moral atau agama, tetapi harus dicermati secara mendalam dan komprehensif dari perspektif sosiologis, dimana kejahatan ini memiliki dampak sangat berbahaya dan meluas daripada kejahatan korupsi dan terorisme.

Dalam konteks pencegahan dan penindakan secara tegas, efektif dan tepat sasaran, dapat dilakukan pendalaman dan penambahan Pasal baru yakni 'pemilik/ penyewa rumah bordir selain diancam pidana, juga sarana/ rumah bisnis sex disita untuk negara'.

Living Law

Dalam melaksanakan pembaharuan hukum 'RkUHP', kita sudah semerstinya memperhatikan nilai-nilai hukum yang sesuai dengan anutan filosofis, sosiologis, warisan historik masyarakatnya, sehingga jika masyarakat berubah maka hukum pun harus ikut berubah. Hukum berubah mengikuti perubahan masyarakatnya.

Ketika masyarakat Indonesia berubah dari masyarakat kolonial menjadi masyarakat nasional yang merdeka maka hukumnyapun mestinya berubah. Dan perubahan itu adalah keniscayaan. Mengapa? Seperti dikemukakan oleh sosiolog hukum Satjipto Rahardjo hukum itu melayani masyarakatnya dan tidak pernah ada dalam situasi vakum. Hukum kolonial tentu dimaksudkan untuk melayani kolonialisme, sehingga jika masyarakat kolonial diganti oleh masyarakat nasional yang merdeka maka hukum-hukum kolonial juga harus diubah; jika konfigurasi politik berubah maka karakter-karakter hukum juga berubah sesuai dengan konfigurasi politik yang melahirkannya.

Adapun aliran sociological jurisprudence dimotori oleh Roscoe Pound juga menegaskan dalam proses pembentukan pembaharuan hukum harus memperhatikan kesadaran masyarakat. Memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Semua gambaran diatas bersesuaian dengan amanat pasal 29 UUD tahun 1945 jo. pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No. 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusannya harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 

Catatan Penutup

Rekomendasi kami lainnya adalah mempersingkat pelaksanaan vonis hukuman mati yang sudah inkrach setelah 5 tahun (dalam RKUHP 10 tahun dan hukumannya bisa berubah menjadi seumur hidup/ 20 Tahun), dan presiden melalui grasi satu-satunyanya lembaga yang berhak merubah keputusan hukuman mati/ seumur hidup. Dan terpidana korupsi dan pembuat/ pengedar narkoba tidak berhak mengajukan grasi.

Untuk pengaturan tindak pidana Korupsi, Terorisme. HAM, Pencucian uang, dikeluarkan dari RKUHP. Karena delik-delik pidana tersebut sudah diatur secara khusus dalam UU tersendiri. Sehingga KUHP mempunyai daya masa berlaku yang panjang, karena tidak sering diadakan perubahan. (iy) 

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #rkuhp   #hukum indonesia  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement