Opini

Memotret Krisis Ekonomi Dari Kurs dan Distrust (2)

Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR-RI) pada hari Selasa, 15 Sep 2015 - 07:48:14 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

83images (5).jpg

Djoko Edhi S Abdurrahman (Sumber foto : Istimewa)

Saya kemukakan, hingga enam bulan pertama kepemimpinan Jokowi itu normal. Ia dipuji ketika ikut mendirikan AIIB (Bank Investasi Infrastruktur Asia)  dan beroleh aggreement pinjaman untuk proyek-proyek yang ia janjikan dalam pemilihan presiden dari AIIB sebesar USD 520 miliar.

Jokowi mulai rusak dalam kritik publik, ketika muncul serangan kurs USD yang menurunkan pertumbuhan ekonomi menjadi 4,7% dari proyeksi sebelumnya yang 5,4%. Sejak itu, nilai tukar rupiah terus memburuk hingga hari ini, menjadi Rp 14.400 per USD. Penurunan pertumbuhan itu telah menguras 30% sebelum dipresiasinya. Toh, harapan masih ada, hingga tanggal 6, 7, 8 Agustus 2015, Tiongkok diserang. Shanghai kehilangan Rp 36 ribu triliun.

Serangan itu telah menekan suku bunga rupiah, dan menghabiskan ekspektasi rasional. Namun harus diakui, ekonomi Tiongkok itu sangat kuat. Kemarin ia hanya menurunkan 1% proyeksi pertumbuhannya dari 74% menjadi 73%. Jika garis tangan Jokowi masih tertulis "Lucky" , cepat recovery Tiongkok itu, ia tak jadi rubuh walau oposisi terus berdoa dan berdemo.

Karena faktanya begitu, biang keroknya adalah kurs, bukan kepemimpinan Jokowi an-sich. Maka tiga paket deregulasi dan debirokratisasi yang diterbitkan kemarin, dipandang sinis oleh peserta diskusi itu. Ada benarnya. Kebijaksanaan sangat tergantung dari trust. Tanpa trust, ia tak jalan! Jadi, ada dua subtansi masalah: 1. Nilai Tukar, 2. Trust.

Tiga paket tadi, merujuk paket deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan Sumarlin 1983-1986, adalah paket untuk pemulihan. Tapi bukan untuk menghadapi serangan kurs.

Situasinya berbeda. Krisis 1983-1985 itu adalah krisis fiskal. Bukan krisis moneter sehingga bisa dilakukan dengan perbaikan distorsi ekonomi. Namun jurus tiga paket tadi tetap relevan untuk membangun pemulihan apapun kasusnya, kecuali nilai tukar.

Lantas bagaimana dengan ancaman serangan kurs? Belum ada obatnya! Adalah dusta, bahwa fundamental ekonomi mampu menahan serangan kurs ke base money. Buktinya, RRT yg begitu kuat, bisa dikuras Rp 36 ribu triliun hanya dalam 4 hari. Itu sama dengan 15 tahun APBN Indonesia.

Hal itu yang ingin saya dengar dari Kwiek Kian Gie. Yaitu CBS (Curency Board System - pematokan kurs) yang pernah diajukan oleh Prof Henke di tahun 1997 yang bisa menyembuhkan Malaysia dalam 7 bulan. Apa ada jurus lain yang mampu melawan serangan nilai tukar? Tak ada! Cuma CBS.(bersambung)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

 

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #krisis   #jokowi   #djoko edhi  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement