Opini

Sekilas Sepak Terjang Pelanggaran Oleh Ahok

Oleh Muchtar Effendi Harahap (Aktivis 78) pada hari Senin, 31 Agu 2015 - 09:35:42 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

90medium_74IMG_20150819_134743.jpg

Lahan RS Sumber Waras, Jakarta (Sumber foto : Istimewa)

Ahok koruptor telah dikumandangkan oleh kumpulan berita dari Komite Rakyat Anti Korupsi (KRAK) yang mendesak Kejaksaan Agung untuk segera menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus korupsi dermaga Manggar di Belitung yang merugikan uang negara Rp 22 miliar. 

Catatan selanjutnya terkait reklamasi yang akhirnya melahirkan kontroversi karena Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menuduh Ahok telah melampaui  kewenangannya. 

Sebab, menurut KKP dan KLHK, sesuai dengan UU nomor 27 tahun 2007 jo UU nomor 1 tahun 2014, Perpres nomor 122 tahun 2012 serta Permen KP nomor 17 tahun 2013 jo. Serta Permen KP nomor 28 tahun 2014 tentang Perijinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, ijin reklamasi wilayah strategis nasional adalah wewenang pemerintah pusat, bukan wewenang Ahok.

Seperti halnya kejanggalan dalam reklamasi PIK, ijin reklamasi 17 pulau kepada PT Muara Wisesa Samudera, anak usaha Agung Podomoro Land (APL) yang diberikan oleh Ahok ini juga terlalu banyak kejanggalan yang dipertontonkan.

Pertama, dalam berbagai kasus sengketa lahan antara warga Jakarta dengan pengembang Agung Podomoro Land, Ahok selalu membela APL. Lihat kasus Taman BMW yang diduga ada tindak pidana korupsi dalam proses tukar guling. 

Meskipun mantan Wagub Pemprov DKI Jakarta, Prijanto telah melaporkannya ke KPK tapi Ahok tetap ngotot membela Agung Podomoro Land bahwa tidak ada korupsi dalam kasus tukar guling Taman BMW. Pertanyaannya, mengapa Ahok selalu ngotot membela Agung Podomoro Land?

Kedua, ketika mencuat kontroversi ijin reklamasi kepada PT Muara Wisesa Samudera, anak usaha APL di media, Ahok berkelit dan melempar tanggungjawab bahwa ijin sudah diberikan oleh Mantan Gubernur Penprov DKI Jakarta Fauzi Bowo (Foke) dan Ahok hanya memperpanjang ijin saja. 

Faktanya, seperti diungkap oleh Dirjen KKP Sudirman Saad bahwa yang diijinkan oleh Foke hanya ijin prinsip saja, sedangkan Ahok mengijinkan Agung Podomoro Land untuk melakukan reklamasi. Jelas bunyi SK-nya beda, Foke ijin prinsip, sedangkan Ahok ijin reklamasi. 

Menurut Sudirman Saad tidak sepantasnya Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang memberi ijin melemparkan tanggungjawabnya pada Foke. Pertanyaannya, mengapa Ahok yang mengijinkan reklamasi tapi melemparkan tanggungjawabnya pada Foke?

Berikutnya catatan dari  Hasil Kajian Garuda Institute Soal BPK vs korupsi  Ahok. Fakta korupsi Ahok.

Mengecam keras provokasi yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok melalui media terhadap para pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait hasil audit laporan keuangan Pemprov DKI 2014, terutama yang menyangkut pembelian tanah 3,64 ha milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras.

Menurut Koordinator Tim Peneliti Garuda Institute, Roso Daras  bahwa provokasi yang dilakukan Ahok dinilai memelintir fakta sebenarnya itu juga bertendensi politik, yaitu mendistraksi informasi dan mengaburkan pokok masalah yang lebih substansial, yakni akuntabilitas keuangan Pemprov DKI.

Seperti siaran pers yang diterima Bisnis, Minggu (12/7/2015), guna menjernihkan kesimpangsiuran informasi sekaligus mendudukkan persoalan yang sebenarnya, Garuda Institute mengklaim telah melakukan kajian dan diseminasi informasi atas pembelian tanah 3,64 ha tersebut dan menemukan sedikitnya 12 fakta.

Fakta 1

Pemprov DKI membeli sebidang tanah di bagian belakang areal RS Sumber Waras-Grogol seluas 3,64 ha. Tanah ini tidak siap bangun karena di atasnya terdapat sejumlah bangunan milik RS Sumber Waras yang hingga kini masih difungsikan. Tanah sekaligus wilayah di sekitar tanah tersebut juga dikenal sebagai daerah langganan banjir.

Fakta 2

Tanah 3,64 ha itu berbatasan dengan rumah penduduk (utara), Jl. Tomang Utara IV (timur), Jl. Tomang Utara (barat), serta RS Sumber Waras (selatan). Jl. Tomang Utara adalah jalan kampung sempit yang selalu macet pada jam kerja. Saat ini, tanah tersebut tidak mempunyai akses jalan kecuali melalui tanah milik RS Sumber Waras.

Fakta 3

Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp20,75 juta per meter atau Rp755,69 miliar cash. Harga Rp20,75 juta per meter adalah NJOP tanah bagian depan areal RS Sumber Waras yang berbatasan dengan Jl. Kyai Tapa. Sementara NJOP tanah bagian belakang areal RS yang berbatasan dengan Jl. Tomang Utara hanya Rp7,44 juta.

Fakta 4

Pemilik tanah 3,64 ha itu adalah Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang pengurusnya dipimpin oleh Kartini Muljadi, perempuan terkaya di Indonesia. Yayasan itu didirikan oleh orang-orang Tionghoa yang bergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya yang sebelumnya bernama Perkumpulan Sin Ming Hui.

Fakta 5

Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2878 per 27 Mei 1998 dengan masa berlaku 20 tahun, alias habis 27 Mei 2018. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, tanah dengan sertifikat HGB yang habis jangka waktunya otomatis menjadi tanah milik negara.

Fakta 6

Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki tunggakan utang pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai total Rp6,62 miliar. Tunggakan pajak itu tidak menjadi pengurang harga beli sebagaimana lazimnya praktik transaksi tanah. Posisi terakhir, Yayasan Kesehatan Sumber Waras baru membayar 50% dari tunggakan tersebut.

Fakta 7

Transaksi pembelian tanah antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan Pemprov DKI dilakukan saat yayasan masih terikat dengan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT Ciputra Karya Unggul. Yayasan, seperti diatur dalam APPJB itu, juga telah menerima uang muka Rp50 miliar dari PT Ciputra Karya Unggul.

Fakta 8

Harga tanah dalam APPJB tersebut disepakati Rp15,50 juta per meter, ditambah syarat Yayasan Kesehatan Sumber Waras mengurus perubahan peruntukan tanah tersebut dari umum menjadi komersial. Sementara itu, Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp20,75 juta per meter, tanpa ada syarat perubahan peruntukan.

Fakta 9

Pengurus Yayasan Kesehatan Sumber Waras menawarkan tanah 3,64 ha itu kepada Pemprov DKI dengan alamat di Jl. Kyai Tapa, dengan harga NJOP pada 2014 sebesar Rp20,75 juta per meter (Rp755,69 miliar). Padahal, lokasi fisik tanahnya berada di Jl. Tomang Utara, dengan NJOP pada 2014 yang hanya Rp7,44 juta (Rp564,35 miliar).

Fakta 10

Pemprov DKI membeli 3,64 ha tanah itu Rp755,69 miliar tanpa menawar dan mengecek, sama dengan penawaran Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Penawaran disampaikan 7 Juli 2014, dan direspons langsung oleh Gubernur DKI Jakarta pada 8 Juli dengan mendisposisikannya ke Kepala Bappeda untuk dianggarkan dalam APBD-P DKI 2014.

Fakta 11

Pemprov DKI membeli tanah itu untuk dijadikan rumah sakit. Padahal, selain lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tak mudah diakses karena berada pada jalan kampung, Pemprov DKI juga masih punya banyak tanah yang strategis. Apalagi, kebutuhan minimal tanah untuk rumah sakit hanya 0,25 ha (2.500 m2).

Fakta 12

Sekalipun Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama telah mengklaim akan membatalkan transaksi pembelian tanah itu, pada praktiknya pembatalan tersebut nyata bukan sepenuhnya berada dalam kekuasaan Pemprov DKI. Selama Yayasan Kesehatan Sumber Waras tidak mau membatalkannya, maka transaksi itu pun tidak bisa dibatalkan.

Catatan Ahok berikutnya adalah Ahok Pelanggar HAM. LBH Jakarta menemukan serangkaian pelanggaran Pemprov DKI dalam 30 kasus penggusuran warga sepanjang tahun ini, termasuk penggusuran di kampung Pulo. 

Komnas HAM dalam penggusuran kampung Pulo juga menilai, terdapat tindakan kekerasan yang dianggap represif dan tidak manusiawi. Bagi LBH, penggusuran ini sarat unsur pelanggaran HAM yakni setiap warga berhak atas penghidupan yang layak.

Salah satu unsur yang dilanggar Ahok sebagai Gubernur DKI, tidak pernah  menunjukkan bukti surat kuasa pengelolaan atas tanah yang disebut 'milik negara'. Mayoritas penggusuran dilakukan dengan pengancaman menggunakan alat berat seperti yang terjadi di kampung Pulo. 

Bahkan penertiban mengikutsertakan personil kepolisian dan tentara. Seharusnya Polri dan TNI tidak terlibat karena keduanya bertanggungjawab melindungi rakyat.(*).

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #ahok   #rs sumber waras   #pelanggaran  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement