Opini

Renungan Kemerdekaan (4)

Oleh M Hatta Taliwang pada hari Selasa, 18 Agu 2015 - 09:09:26 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

97hatta taliwang_01.jpg

M Hatta Taliwang (Sumber foto : Eko S Hilman/TeropongSenayan)

Bila kita kuat dan mampu menghadapi cara para cukong mendominasi pemerintah dan rakyat Indonesia seperti yang mereka lakukan selama ini terhadap calon dan pemimpin bangsa Indonesia, maka akan banyak manfaatnya.

Bukan saja bangsa Indonesia akan mencapai kemakmuran yang merata dan lebih adil namun akan melenyapkan ketimpangan sosial ekonomi sekaligus kita bisa hidup berdampingan secara damai tanpa ada perasaan yang satu mendominasi yang lain. 

Mari kita belajar dari sejarah singkat dibawah ini. Karena filosofi dan cara inilah yang telah mewarnai politik dan kekuasan yang menimbulkan dominasi.

1. MENGAPA SEBAGIAN  ORANG CHINA HOBBY "BETERNAK PENGUASA" ? 

Ini kisah singkatnya :                              

Lu Bu Wei, Perdana Menteri Dinasty Qin yang menjadi peletak dasar menyatukan China, bertanya pada papanya: "Berapa untungnya bertani?" 

Jawab papanya :  "10 kali lipat".        

"Kalau berdagang emas?" 

Jawab papanya lagi :  "100 kali lipat.".  

"Oohh kalau membantu seseorang menjadi Penguasa/Pejabat?" Jawab papanya lagi : "Wah wah tak terhitung untungnya."  

Itu dialog Lu Bu Wei dengan papanya pada abad ke 3 SM. Makanya ada Cu Kong ( asal kata Zhu artinya pemilik dan  Gong artinya semacam Datuk/Gelar Kehormatan. Panggilan kehormatan zaman dulu yang membiayai orang-orang tertentu menjadi  Penguasa (anggota Parlemen, Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Polisi,Panglima Tentara dll). Cu Kong bukan hal baru. 

Jadi sekarang kita faham mengapa ada Datok Liem Siu Liong di Era Pak Harto, Datok Murdaya Pho di Era SBY atau Datuk Tahir di era Panglima TNI Muldoko.

2. PERANAN TAOKEH MENDANAI "PILKADA" DI ZAMAN KOLONIAL BELANDA.

Demi menciptakan sistem ketergantungan kalangan Pangreh Praja(Birokrasi/Pemerintah) terhadap pemilik dana, maka diciptakan sistem uang semir dalam pengangkatan Lurah hingga Bupati. 

Dalam buku 'Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia' jilid kedua, terbitan P.N Pradnja Paramita: 1970, Prof Dr. D.H. Burge dan Prof. Dr. Mr. Prajudi (buku yg terdiri dari 2 jilid ini tersedia di Perpustakaan UI Depok, dan bisa diakses oleh siapa saja) menuturkan bahwa seorang calon Lurah  harus memiliki uang 700-1000 gulden. 

Uang tersebut sejumlah 200 gulden 'dipersembahkan' kepada Bupati, untuk Wedana 100 gulden, dan untuk Jurutulis Controleur 25 gulden. Sisanya untuk 'mensejahterakan' eselon lainnya yang terkait dalam struktur kepangrehpradjaan. Hanya untuk menjadi Lurah, dana ilegalnya bisa sebanyak itu.Berapa besar untuk menjadi Wedana atau Bupati? 

Muncul pertanyaan darimana dana tersebut diperoleh? 

Jawabannya diperoleh dari pinjaman kepada Cina yang kala itu disebut Taokeh(Tauke). Bisa dibayangkan berapa jumlah uang yang diperlukan oleh seseorang untuk menjadi Camat, Asisten Wedana, Wedana, Patih sampai Bupati. 

Seorang Taokeh pada masa itu  dapat mendanai tiga atau empat Lurah. Demikian pula seorang Taokeh dapat mensponsori dana ilegal untuk Bupati.  Setelah 'Pilkada' di masa kolonial,  'Taokeh' selalu menuntut balas jasa ke penguasa.Tentu dalam bentuk "proyek" dll. 

Jadi hubungan "simbiosis mutuallistik" antara pemilik modal dengan penguasa, antara ASENG dg ASONG sudah berakar ratusan tahun di Tanahair. Dipercanggih dengan KKN dimasa ORLA, ORBA, ORDEREF.(*)

 

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #m hatta taliwang   #renungan   #kemerdekaan  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement