Opini

Dahlan, Jakgung dan Petitumnya

Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR-RI, Direktur Nasional LBH Desa) pada hari Jumat, 10 Jul 2015 - 09:10:55 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

61DahlanIskan-tscom.jpg

Dahlan Iskan (Sumber foto : Indra Kusuma/TeropongSenayan)

Jaksa Agung Prasetyo sudah benar. Pengembalian dana pengganti kerugian negara dalam kasus "Proyek Mobil Listriknya Dahlan Iskan", hanya menjadi bahan pertimbangan dalam kasus pidana khusus a quo. Aturan mainnya dipapar oleh Pasal 4 UU Tipikor No 31 tahun 1999, berbunyi: "Pengembalian kerugian keuangan negara, tidak menghapuskan pidana pelaku tindak pidana korupsi".

Menurut saya, pasal tersebut merupakan landasan moral dan norma hukum dalam tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Strafrecht adalah nilai moral dari hukum positif norma judicial system. Strafrecht (punishment) dibentuk dari tingkat kerusakan, pidana maupun perdata.

Prof Yusril Ihza yang menjadi lawyer Dahlan Iskan berpendapat, kasus tersebut bukan pidana, melainkan perdata. Menurut saya, pidana atau perdata, nilai moral hukumnya sama. Ini yang berhubungan dengan tuntutan JPU tadi. Menarik kasus ini karena di situs Gardudahlan.com kemarin, Dahlan menulis, "Saya bertekad untuk dibolehkan mengganti semua pengeluaran proyek mobil listrik yang dananya berasal dari beberapa BUMN. Saya berharap masa depan anak muda yang cemerlang itu tidak cures (berhenti)". Yang dimaksud Dahlan Iskan adalah Agus Suherman yang kini sudah menjadi tersangka Tipikor oleh JPU. Niat baik Dahlan Iskan itu segera dijawab oleh Jaksa Agung dengan Pasal 4 UU Tipikor, tadi.

Benarkah jika kerugian negara sudah diganti, dipulihkan, fungsi penggantian itu hanya menjadi pertimbangan an-sich?. Saya berpendapat lain.

Pertama, jika Dahlan mengganti kerugian keuangan negara, segera berpengaruh besar kepada isi dan format surat tuntutan JPU. Format Surat Dakwaan itu, setelah permohonan di pengantar, harus dimulai dengan "Adagium Petitum". Petitum menurut KUHAP, wajib dimulai dengan menyampaikan alasan hukum mengapa Agus Suherman didakwa. Kira-kira isi petitum itu, Agus didakwa karena telah merugikan keuangan negara sekian miliar rupiah dengan cara berkorupsi. Jadi Petitum adalah deklarasi tentang: (1) Kerugian Keuangan Negara, (2) Jumlah Kerugian Keuangan Negara, (3) Cara Merugikan Keuangan Negara, (4) Menduga Melanggar Pasal 4 UU Tipikor. Petitum harus berisi landasan moral dan norma hukum projustitia.

Kedua, posisi JPU dalam Petitum, adalah wakil moral dan norma hukum, di Anglo Saxxon, mewakili rakyat dan wajib dibunyikan di persidangan, dan JPU tak boleh berfungsi untuk menghukum karena bukan domainnya. Menurut Emily Durkheim, peletak Ilmu Moralitas Hukum, moral dan norma yang terkandung di pasal-pasal Tipikor tadi yang bertugas menghukum (istilah Tipikor dari penulis - red). Pasal-pasal hukum pidana tak bisa dipisahkan dengan landasan moral dan normanya. Selama 300 tahun, tak ada kemajuan pada hukum pidana, yaitu cuma mengancam dan menghukum. Kapan hukum pidana bisa menjadi tujuannya, yakni enlightenment (pencerahan), katanya.

Ketiga, di satu sisi, pasal UU Tipikor itu mengancam dan akan menghukum, di lain sisi, ancaman dan hukuman tadi tidak di ruang teknis semata, melainkan di ruang moral dan norma. Pemulihan kerugian keuangan negara adalah moral dan norma dasar dari strafrecht (punishment). Jadi pertimbangan yang dimaksud Jaksa Agung, adalah dalam hubungan moral dan norma hukum law enforcement.

Keempat, secara teknis, juga harus tampak hubungan moral dan norma ini pada format surat dakwaan. JPU akan grogi menyusun surat dakwaan, yang Petitumnya berbunyi "kerugian keuangan negara adalah nol rupiah". Di situ, JPU sudah kehilangan landasan moral. Proses pidananya memang harus jalan terus, tapi surat dakwaan JPU telah (i) kehilangan subtansi, (ii) landasan moral, dan (iii) norma yuridis.
Tafsir Keuangan Negara

Kelima, sisi lain dari teknik yuridis kasus itu, sebagai perdata, karena Yusril Ihza menggunakan UU No 17/2003 tentang Pertanggung Jawaban Pengelolaan Keuangan Negara. Yang dimaksud "keuangan negara" adalah hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, melakukan pinjaman, kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga.

"Keuangan negara" adalah meliputi penerimaan negara, pengeluaran negara, kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri, atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang bisa dinilai dengan dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah, serta kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.

Dengan isi UU No 17 itu, "keuangan negara" yang tercantum dalam UU Tipikor, menjadi nisbi, tidak signifikan. Diperlukan pendapat ahli tentang frasa "keuangan negara". Tapi yang paling mudah, adalah meminta fatwa dari pembuat UU No 17 itu yang dibuat dasar terminologi dalam UU Tipikor. Kemudian segera saja pulihkan kerugian keuangan negara yang dituduhkan JPU itu. Apa duit promo dan CSR BUMN adalah "keuangan negara"? Apakah itu detournament du pavoir yang kini diatur oleh UU Administrasi Pemerintahan? Rame Dahlan Iskan itu, habis ini tuduhan pengusul Tahun Jamak Gardu.(*)

 

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #dahlan iskan   #jakgung   #korupsi gardu listrik  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement