Opini

Hentikan Pelanggaran Kepastian Hukum Mencegah Pemerintah di Dalam Pemerintah

Oleh Ali Wongso Sinaga pada hari Rabu, 05 Nov 2025 - 11:17:00 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

tscom_news_photo_1762316220.jpg

Ali Wongso Sinaga Ketua Umum SOKSI (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pernyataan Prabowo Subianto bahwa “tidak boleh ada pemerintah dalam Pemerintah” bukan sekadar teguran politik. Itu adalah peringatan keras dan konstitusional bagi seluruh pejabat publik agar tidak menciptakan kekuasaan tandingan di dalam sistem pemerintahan yang sah.

Ucapan itu disampaikan Presiden pada acara pemusnahan barang bukti narkoba di Lapangan Bhayangkara, Jakarta, 29 Oktober 2025. 

Beliau menegaskan : “Tidak boleh ada pemerintah dalam Pemerintah. Tidak boleh ada mafia dalam pemerintahan, tidak boleh ada orang pintar di dalam pemerintahan yang merasa bisa mengakali rakyat atau pemimpin politik. Pemerintah harus satu, utuh, dan jujur kepada rakyat. Kalau ada yang bermain-main dengan kekuasaan, berarti dia bukan bagian dari Pemerintah ini.”

Pesan ini tegas : hentikan segala bentuk penyimpangan yang menciptakan “pemerintah kecil” di dalam Pemerintah besar. Dalam sistem presidensial, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Maka, setiap menteri hanyalah pembantu Presiden, bukan pemilik kekuasaan sendiri.

Ketika ada menteri, pejabat, atau birokrat bertindak seolah punya otoritas otonom tanpa dasar hukum yang sah, di situlah lahir “pemerintah dalam Pemerintah”. Bentuk paling berbahayanya adalah pelanggaran terhadap asas kepastian hukum.

Hentikan Pelanggaran Kepastian Hukum
Kepastian hukum adalah fondasi pemerintahan yang adil. Ia memastikan setiap keputusan pejabat berdasar pada aturan yang jelas, konsisten, dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Namun dalam praktik, pelanggaran asas ini sering muncul akibat ego sektoral, lemahnya koordinasi antar kementerian, dan penyalahgunaan kewenangan.

Pelanggaran terhadap asas kepastian hukum harus dihentikan — untuk mencegah lahirnya pemerintahan di dalam Pemerintah.
Beberapa contoh berikut ini memperlihatkan bagaimana pelanggaran kepastian hukum dapat tumbuh dari dalam birokrasi sendiri, antara lain : 

Di Kementerian Kelautan dan Perikanan, kasus pagar laut di kawasan PIK 2, Tangerang, menjadi contoh nyata lemahnya penegakan hukum di laut. Presiden sendiri telah memerintahkan agar pagar laut yang menutup akses publik terutama bagi para nelayan itu dibongkar, karena terbukti melanggar hukum, merugikan masyarakat. 

Namun Menteri Kelautan dan Perikanan tidak membongkarnya dengan alasan naif  “barang bukti” , hingga reklamasi di kawasan pagar laut tetap berjalan dan kini sudah jadi daratan meski status PSN PIK 2 sudah dicabut.  

Ketika Presiden sudah memerintahkan pembongkaran, tetapi kementeriannya tak segera bertindak, itu bukan sekadar kelambanan atau kelalaian administratif — itu bentuk nyata “pemerintahan dalam Pemerintah.” Kementerian Kelautan seharusnya melaksanakan perintah Presiden Prabowo dan menegakkan hukum secara tegas tanpa pandang bulu.

Contoh lain di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, kebijakan kuota impor pangan menampilkan dua wajah yang saling bertentangan. Di satu sisi, Kemendag membuka izin impor untuk menjaga stok dan harga ; di sisi lain, Kementan menyatakan produksi dalam negeri cukup dan menolak impor.

Namun persoalan utamanya bukan sekadar beda data, melainkan munculnya oligopoli dan kartel impor pangan yang menguasai kuota melalui jaringan rente birokrasi sejak lama. Pola ini menciptakan “pemerintah bayangan” di dalam kebijakan pangan nasional — sebab keputusan impor yang semestinya berdasar hukum dan data nasional, justru dikendalikan oleh kelompok kepentingan tertentu. Analisis menyebutkan bahwa sistem kuota telah lama “menyuburkan korupsi dan ketimpangan” serta harga pasar dari komoditi pangan tertentu. 

Presiden Prabowo bahkan telah pernah memerintahkan penghapusan kuota impor untuk komoditas tertentu yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tetapi belum ada tindak lanjut nyata oleh kementerian terkait. 

Apabila perintah Presiden dilaksanakan, misalnya untuk komoditi bawang putih dan daging impor, logikanya rakyat banyak akan diuntungkan karena harga pasar akan turun dan lebih terjangkau tanpa merugikan petani dan peternak rakyat dengan tetap dipantau dan dievaluasi sesuai kepentingan nasional. Lalu apa persoalannya?

Karena itu, kedua kementerian wajib menghentikan praktik kebijakan sektoral yang melayani oligarki impor dan menabrak garis koordinasi dan arahan Presiden. Setiap izin impor harus bersih, terbuka, dan sesuai asas kepastian hukum yang berkeadilan mencegah “pemerintahan dalam pemerintah.”

Contoh lainnya yang paling ironis ada di Kementerian Hukum, karena pelanggaran asas kepastian hukum justru terjadi di lembaga yang seharusnya menjadi benteng penjaga kepastian hukum negara. 
Melalui Ditjen AHU, kementerian ini mengatur pengesahan badan hukum partai politik, ormas, yayasan, hingga perseroan terbatas.

Namun publik tidak jarang bahkan berulang kali menyaksikan keputusan yang tidak konsisten akan perlu tegaknya kepastian hukum : pengesahan kepengurusan yang tumpang tindih, perubahan akta tanpa dasar hukum kuat, dan praktik administratif yang membuka ruang bagi mafia hukum.

Kelemahan manajemen Ditjen AHU melahirkan banyak sengketa hukum — yang seharusnya dapat dihindari bila asas kepastian hukum ditegakkan konsisten. Tetapi bila Menteri Hukum dan jajaran lembaga pengawal hukum itu justru abai terhadap tegaknya kepastian hukum, bahkan menyarankan agar para korban yang dirugikan menggugatnya  di  PTUN saja, bukankakah itu bentuk “arogansi penguasa  kleptokratis” yang menmbuka celah bagi “mafia hukum” dan “pemerintahan dalam pemerintah”?

Pemerintah yang melayani rakyat adalah yang mau terbuka introspeksi dan dikoreksi serta memperbaiki kinerja pelayanannya menegakkan kepastian hukum. Jika tidak demikian dan arogansi kekuasaan dibiarkan,  maka seluruh bangunan legalitas pemerintahan akan potensial runtuh dari dalam. 

Kemenkum harus introspeksi dan reaktualisasi diri sebagai benteng kepastian hukum di pemerintahan , agar mampu menjadi filter legalitas dan teladan ketertiban kepastian hukum yang konsisten ke depan di pemerintahan, bukan sumber inkonsistensi.
“Jika Kemenkum tak mampu menegakkan kepastian hukum di dalam tubuhnya sendiri, bagaimana rakyat bisa percaya hukum ditegakkan untuk mereka ?”

Menegakkan Pemerintahan yang Tunduk pada Hukum

Dalam visi Asta Cita, khususnya butir ketujuh tentang reformasi hukum, Presiden menegaskan komitmen membangun sistem hukum yang bersih, bermartabat, dan terpercaya. Itu tidak akan tercapai bila kementerian dan para pejabat pemerintah sendiri masih mengabaikan asas kepastian hukum.

Menjaga kepastian hukum adalah tanggung jawab bersama. Siapa pun pejabat yang membiarkan pelanggaran hukum berarti melemahkan wibawa Presiden dan merusak kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Presiden Prabowo.  

Presiden berhak — bahkan wajib — mengevaluasi dan mengganti pejabat negara yang terbukti melanggar hukum atau menyimpang dari garis kebijakan nasional. Itu bukan otoritarianisme, melainkan bentuk kepemimpinan konstitusional yang kuat dan efektif.

Publik menaruh apresiasi tinggi pada langkah-langkah progresif Presiden Prabowo yang berani menegakkan pemerintahan bersih, disiplin, dan efektif. Rakyat kini menunggu lahirnya lebih banyak menteri tipe “Purbaya”: jujur, bersih, cerdas, berani, dan inovatif guna mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat berkeadilan termasuk didalamnya menghentikan pelanggaran kepastian hukum dan berbagai praktik “mafia” untuk mencegah segala bentuk pemerintahan di dalam Pemerintah sebagaimana pidato Presiden pada 29 Oktober 2025 laliu. 

Karena di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, hanya ada satu Pemerintah : Pemerintah Republik Indonesia yang tunduk pada konstitusi dan hukum, melindungi rakyat, dan menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kompromi.

Penulis : Ir. Ali Wongso Sinaga, Ketua Umum SOKSI 2017–2027, Mantan Anggota DPR RI 2009–2014, Mantan Anggota DPRD DKI Jakarta 1992 – 1999,  Mantan Ketua DPP Partai Golkar 2004–2017 dan Mantan Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar 2019–2024.

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #soksi  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement