Bagikan Berita ini :
Ali Wongso Sinaga Ketua Umum SOKSI (Sumber foto : Istimewa)
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 pada 26 Juni 2025 lalu yang menyatakan bahwa “Pemilu Nasional (Presiden, DPR, dan DPD) dan Pemilu Daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota) harus dilaksanakan secara terpisah dengan jeda waktu 2 sampai 2,5 tahun dalam merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada kedepan”, telah memantik polemik nasional yang serius.
Banyak pihak dari berbagai kalangan mempertanyakan konstitusionalitas dan urgensi, arah tafsir dalam putusan MK serta bagaimana finalitas Putusan MK yang kontroversial itu.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional SOKSI, Ir. Ali Wongso Sinaga mengakui memang Putusan MK itu sifatnya final secara prosedural tetapi dengan prinsip konstitusionalisme dimana tidak ada lembaga yang kebal terhadap konstitusi, termasuk lembaga MK itu sendiri.
Konsisten dengan prinsip itu, politisi senior Partai Golkar itu percaya bahwa DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk UU bersama Presiden sesuai Pasal 20 UUD 1945, menjunjung tinggi prinsip konstitusionalisme, konsisten dengan pengambilan sumpah jabatannya masing-masing, sehingga pembuat UU tidak akan larut dalam Putusan MK kontroversial itu didalam proses revisi UU Pemilu dan UU Pilkada nanti.
Ali Wongso percaya DPR bersama Pemerintah akan tetap fokus pada kepentingan nasional dengan orientasi penguatan sistem demokrasi politik menuju Indonesia Emas 2045 dan masa depan bangsa yang sekaligus memecahkan masalah -masalah pemilu dan pilkada selama ini secara optimal, tegasnya kepada wartawan pada Senin siang (07/07) di Jakarta.
Lebih lanjut Ketua Umum organisasi pendiri Partai Golkar itu memaparkan apa masalah besar dalam pemilu dan pilkada selama ini yang perlu jadi fokus perhatian semua pihak yaitu fenomena maraknya “politik uang” (serangan fajar, jual beli suara, bansos dan lain sebagainya dalam Pemilu Legislatif dan terlebih lagi dalam Pilkada Langsung), “dominasi oligarki” selain adanya masalah “keterlibatan oknum aparat, KPU dan Bawaslu”, masalah “kompleksitas teknis dan kelelahan petugas” dalam pemilu serentak sebagaimana diajukan pemohon JR (Judicial Review) ke MK itu.
Menjawab lebih jauh tentang kontroversi Putusan MK No. 135 /2024 itu, mantan anggota Pansus DPR - UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua UU MK pada tahun 2011 itu mengatakan bahwa Ia mengamati ada 5 substansi kontroversial dalam Putusan MK No. 135 /2024 itu yaitu:
Pertama, MK mengabaikan putusannya MK sendiri yang sebelumnya, yakni Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, yang justru “menekankan pentingnya pemilu serentak guna memperkuat sistem presidensial dan menghindari koalisi yang pragmatis”.
Putusan MK ini sampai sekarang tetap ada sehingga jelas ada inkonsistensi Putusan MK No 135/2024 dan kontradiksi dengan Putusan MK sebelumnya No.14/2013 yang sifatnya final dan mengikat juga berdasarkan konstitusi.
Dalam kaitan kontradiksi itu, mantan anggota Badan Legislasi DPR 2009-2014 itu menilai pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah dengan jeda 2 – 2,5 tahun itu bukan sekedar soal teknis elektoral, tapi menyangkut arah masa depan negara bangsa.
“Bukankah dengan kontradiksi itu yang akan ditandai dua siklus pemilu yaitu Pemilu Nasional (Presiden, DPR, DPD) tahun 2029, 2034, 2039, dst dan Pemilu Daerah (Kepala Daerah dan DPRD) tahun 2032, 2037, 2042, dst logikanya berpotensi melemahkan sistem presidensial, mengganggu efektifitas pemerintahan nasional ,memicu fragmentasi politik daerah bahkan berpotensi melemahkan stabilitas nasional yang dapat mengancam pencapaian Indonesia Emas 2045 dan masa depan bangsa ?”
Ali Wongso menambahkan bahwa NKRI adalah satu entitas kesatuan politik dan administratif. Tapi jika pola kontestasi politik dibuat terpisah dan sering, maka perhatian masyarakat akan tersedot ke dalam isu lokalistik terus-menerus. Ini bisa membuat daerah merasa punya legitimasi politik yang terpisah dari pusat. Program-program prioritas nasional berpotensi dikacaukan oleh konflik politik lokal. Lama-lama bisa timbul mental “quasi-federalisme”, meski konstitusi kita adalah negara kesatuan. Bukankah ini sangat berpotensi membahayakan keutuhan NKRI ? Jadi memang sangat perlu kajian rasional kritis komprehensif dan mendalam serta uji sahih sebab ini bukan waktunya bereksperimen," tegasnya.
Kedua, Apakah Putusan MK No. 135/2024 itu ada karena pertentangan norma konstitusional yang substantif sebagaimana diajukan pemohon JR (Judicial Review) yaitu antara Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 dan Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada No.10 Tahun 2026 dengan UUD 1945?
Menurutnya dalam Putusan itu tidak tampak jelas adanya pertentangan norma konstitusional yang substantif tetapi hanya berangkat dari upaya memecahkan masalah kelelahan administratif dan kesulitan teknis pelaksanaan pemilu, sehingga putusan MK No. 135/2024 itu sesungguhnya lebih bersifat gagasan kebijakan publik daripada yang bersifat menguji norma hukum sesuai tugas dan kewenangan MK.
Ketiga, meskipun UU No. 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga UU MK telah menghapus ayat ( 2a ) huruf (c) Pasal 57 UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua UU MK , yakni : ”Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, bukanlah dengan penghapusan itu otomatis membuat MK menjadi dapat membuat norma baru UU hingga mengambil kewenangan Pembentuk UU yang diatur Pasal 20 UUD 1945.
MK adalah lembaga negara yang berada di rezim kekuasaan kehakiman dengan tugas antara lain negatif legislator, bukan berarti dengan penghapusan itu maka MK dapat merangkap negatif sekaligus positif legislator.
Putusan MK No. 135/2024 yang membuat desain pemisahan Pemilu Nasional-Daerah telah melampaui jauh kewenangannya sehingga Putusan MK itu berisiko menjadi preseden judicial overreach, yaitu pengambilalihan wewenang lembaga lain secara tidak sah. Ini merusak prinsip separation of powers yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum serta delegitimasi terhadap institusi negara.
Keempat, Pasal 22 E ayat (1) dan (2) UUD 1945, menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan 5 (lima) tahun sekali secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR,DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD.
Dalam Putusan MK No. 135/2024 itu MK menilai bahwa pemilu serentak menimbulkan kompleksitas teknis yang mengacaukan fungsi pemilu nasional (DPR,DPD, Presiden) dan lokal (DPRD dan Kepala Daerah/Pilkada). Untuk itu, MK memerintahkan pemisahan pemilu nasional dengan lokal dalam masa jeda 2 tahun hingga 2,5 tahun dimulai Pemilu 2029 mendatang.
Masalahnya, tafsir MK terhadap Pasal 22 E UUD 1945 ini kurang disertai analisis rasional kritis dan komprehensif serta mendalam terhadap sejarah, struktur, dan makna sistemik dari Pemilu sebagai satu siklus demokrasi sesuai konstitusi serta konsistensinya karena kontradiksi terhadap Putusan MK sebelumnya.
Kelima, prinsip konstitusionalisme yang menyatakan bahwa tidak ada lembaga yang kebal terhadap konstitusi, termasuk MK itu sendiri yang justru wajib menjaga tegaknya konstitusi, sehingga konsekuensi logisnya para hakim konstitusi harus penuhi kriteria Pasal 24 C ayat (5).
"Berangkat dari kelima hal substansial itu, maka finalitas Putusan MK No. 135/2024 yang ditandai “inkonsistensi, ekstra konstitusional dan inkonstitusional” itu konsekuensinya membuka koreksi sistemik, sehingga dalam proses revisi UU Pemilu dan UU Pilkada kedepan ini, DPR dan Pemerintah tidak wajib serta-merta mengikutinya apalagi larut dalam putusan MK No. 135/2024 itu, tetapi tetap fokus pada kepentingan nasional yang bermuara pada Indonesia Emas 2045 dan masa depan bangsa," tegas kader senior binaan langsung Pendiri SOKSI dan GOLKAR Mayjen TNI (Pur) Prof.Dr.Suhardiman itu.
Lebih lanjut mantan Ketua DPP Partai Golkar tiga periode itu mengingatkan perlunya menjaga demokrasi dari intervensi tafsir hukum yang berlebihan dan tidak proporsional oleh siapapun dan dari manapun. MK sendiri bukanlah perancang sistem politik, melainkan penjaga konstitusi yang tunduk dan taat pada konstitusi. Jika tafsir digunakan untuk mengatur mekanisme teknis yang menjadi domain legislatif, maka yang terjadi adalah pengambilalihan mandat rakyat secara terselubung.
"DPR dalam menjalankan kekuasaannya membentuk atau mengubah UU bersama pemerintah, tentu selain memperhatikan konstitusionalitas dan urgensi putusan-putusan MK yang terkait UU yang diubah, mesti terbuka memperhatikan pendapat rasional kritis dari siapapun dengan berorientasi pemecahan masalah secara obyektif, sebagai bentuk partisipasi politik rakyat dalam proses pengambilan keputusan UU yang mengikat rakyat," katanya.
Menjawab wartawan tentang apa masukan dari SOKSI bagi DPR dan Pemerintah dalam rangka revisi UU Pemilu dan UU Pilkada kedepan, Ketua Umum SOKSI, Ali Wongso memaparkan lima gagasan solusi alternatif merupakan bagian dari kajian SOKSI terhadap masalah -masalah Pemilu selama ini, yaitu:
Pertama, Pencegahan dan Pemberantasan Politik Uang.
Mengatasi masalah ini merupakan yang paling rumit dan sulit, diperlukan pendekatan multi segi secara menyeluruh selain kemauan dan keberanian politik yang kuat untuk membangun sistem politik negara yang sehat dan kuat kedepan, antara lain:
Pemilu Legislatif sistem proporsional terbuka selama ini perlu dikaji ulang dengan pilihan -pilihan alternatif antara lain sistem proporsional tertutup atau proporsional campuran disertai perlunya pengurangan keluasan Dapil yang berarti penambahan jumlah Dapil secara signifikan. Semua sistem tidak ada yang sempurna tetapi mana yang terbaik dan optimal untuk demokrasi yang bersi hdan jujur adil.
Pembiayaan Politik oleh Negara berupa Dana Kampanye Transparan dan Digital. Negara perlu menyediakan subsidi kampanye resmi untuk semua partai dan calon dalam bentuk voucher digital yang hanya bisa dipakai untuk aktivitas resmi: iklan, alat peraga, transportasi, merupakan upaya pencegahan politik uang.
Menggolongkan perbuatan politik uang sebagai tindak pidana khusus berupa Kejahatan Demokrasi Berat (Democracy Crime) setara dengan korupsi dan terorisme dimana Pelaku dan pemberi dicabut hak politiknya misalnya 10 tahun, termasuk diskualifikasi pencalonan serta kehilangan hak menjadi pejabat publik secara permanen.
Sistem Lapor & Reward: “Hadiah untuk Pelapor Politik Uang”.
Masyarakat diberi jalur pelaporan cepat (via aplikasi resmi KPU/Bawaslu) dan Pelapor yang terbukti benar diberi insentif resmi (reward), dan dilindungi sebagai saksi oleh LPSK.
Integritas dan kapasitas Penyelenggara Pemilu terutama dalam menjaga netralitas tanpa syarat serta penegakan hukum Pemilu yang kuat, konsisten dan efektif. Untuk itu pola dan mekanisme rekrutmen serta hubungan struktural vertikal penyelenggara pusat – provinsi- kabupaten/kota perlu dikaji ulang guna perbaikan yang efektif dan signifikan. Sanksi hukum yang berat kepada oknum penyelenggara pemilu yang menyimpang perlu kepastian hukum dengan semangat pencegahan penyimpangan untuk Pemilu jujur adil dan demokratis.
Kedua, Pendidikan Politik Bangsa
Kader senior SOKSI yang berpengalaman melaksanakan Pendidikan Politik Kader Bangsa dibawah arahan Pendiri SOKSI dan Golkar Mayjen TNI (Purn) Prof.Dr.Suhardiman itu mengatakan sangat penting dan urgentnya pendidikan politik bangsa yang massif guna menumbuhkan kesadaran dan kedewasaan politik rakyat oleh negara/pemerintah, parpol dan ormas perlu didorong sekaligus sosialisasi intensif dan massif tentang bahayanya politik uang bagi pelaku, penerima dan masa depan bangsa. Dalam masa reformasi 27 tahun ini , pendidikan politik bangsa yang proporsional nyaris sulit ditemukan.
Ketiga, Penguatan Teknologi Pemilu
Dengan keberadaan e-KTP sebagai basis identitas tunggal nasional sekarang ini, menurutnya sudah waktunya memulai penerapan sistem e-voting dan rekapitulasi sistem digital berbasis cloud dan teknologi blockchain yang makin maju secara bertahap dengan pola hybrid atau campuran dengan manual, dimana akan mengurangi beban kerja KPPS dan aparat penyelenggara pemilu selain akan memangkas waktu dan biaya serta meningkatkan akurasi dan transparansi publik secara signifikan untuk menggantikan sistem manual yang mahal dan melelahkan serta ekses lainnya secara bertahap dan berkesinambungan.
Masalah kelelahan administratif dan kesulitan teknis pelaksanaan pemilu serentak yang diajukan pemohon JR ke MK, praktis akan terpecahkan signifikan secara lebih rasional, efisien, dan tetap konstitusional sehingga ide pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah dengan jeda 2 sampai 2, 5 tahun menjadi tidak relevan selain karena tidak konstitusional.
Konsekuensinya diperlukan percepatan pembangunan persiapan dan kesiapan teknologi pemilu ini secara teknis dan non teknis dengan kolaborasi erat antara Kemenkomdigi, BSSN, BPPT, KPU, Bawaslu,DKPP dan juga dengan DPR,Parpol serta publik.
Penyelenggara Pemilu dan para petugas perlu dilatih dengan standar pelatihan nasional berbasis teknologi dan tidak lagi mengandalkan tenaga musiman tanpa pelatihan sistematis. Masyarakat pemilih dapat disosialisasikan bahkan dengan memberi pelatihan kepada kalangan masyarakat yang memerlukannya.
"Dengan teknologi tersebut, diharap hasil pemilu langsung dapat diketahui dan di kontrol oleh publik secara real-time untuk menjamin integritas dan mengoptimalkan pencegahan sengketa," paparnya.
Keempat, Parlementary Treshold DPR dan DPRD
Dalam rangka penyederhanaan sistem multi partai dan untuk mendorong konsolidasi demokrasi serta peningkatan stabilitas legislatif secara nasional termasuk di daerah, maka parlementary treshold 4 % sekarang ini di DPR perlu di tingkatkan menjadi 5 % sampai 6 % , sedangkan di DPRD Provinsi perlu dipertimbangkan perlunya parlementary treshold sekitar 3 % dan di DPRD Kabupaten/Kota parlementary treshold sekitar 2 %.
Kelima, Pilkada Langsung menjadi Pilkada Melalui DPRD secara Demokratis.
Pilkada Langsung memang disatu sisi telah memberi kedaulatan dan transparansi serta ruang yang luas bagi partisipasi politik rakyat selama ini tetapi disisi lain fakta umumnya kualitas partisipasi politik itu telah berakibat maraknya politik uang sehingga biaya amat tinggi disertai potensi munculnya program bombastis yang tidak realistis dan aplikabel selain kecenderungan mencuatnya issu SARA yang berpotensi konflik horizontal.
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan Kepala Daerah dipilih secara “demokratis” atau bukan harus melalui “pemilu”, berbeda dengan anggota DPRD, Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan anggota DPRD harus dipilih melalui pemilu.
Berangkat dari konstitusi dan fakta masalah plus minus Pilkada Langsung itu selama ini, maka untuk meminimalkan dampak negatif Pilkada Langsung yang terjadi selama ini, dan sambil mendorong kedewasaan politik rakyat termasuk integritas menolak politik uang dan simultan dengan upaya pemberdayaan ekonomi rakyat, maka Pilkada Langsung rezim pemilu selama ini perlu dipertimbangkan untuk sementara ini diubah menjadi Pilkada melalui DPRD rezim pemerintahan daerah secara demokratis.
Dalam optimasi nilai demokrasi Pilkada melalui DPRD ini, perlu dicari pola dalam prosesnya yang dapat menguatkan peluang partisipasi rakyat dan legitimasi publik dalam norma hukum pada UU Pilkada melalui DPRD itu, katanya.
"Tentang potensi politik uang dalam Pilkada melalui DPRD ini tentu bukan tidak ada, tetapi logikanya akan lebih mudah dicegah, dideteksi dan diawasi secara efektif karena keluasan sasarannya terbatas dan relatif sedikit, tidak seluas dan sebanyak masyarakat pemilih jika dengan Pilkada Langsung. Pengawasan potensi politik uang oleh KPK, Kejaksaan, PPATK, Bawaslu dan lembaga terkait lainnya akan dapat dilaksanakan secara ketat dan terpadu di DPRD dan Partai Politik," tegasnya.
Keenam, Tahapan Pemilu dalam Satu Tahun
Selanjutnya mantan Anggota Baleg DPR itu menambahkan, apabila Pembuat UU dan MK serta para pihak lainnya memandang Pemilu DPR dan DPD, Presiden, Wakil Presiden dan DPRD dalam arti satu rezim pemilu yang dapat dipisahkan tapi dilaksanakan dalam masa satu tahun, adalah tidak melanggar Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945, maka Pemilu DPRD dapat dipisah didalam tahun yang sama agar beban kerja penyelenggara pemilu lebih ringan selain karena juga didukung teknologi pemilu e-voting serta apabila Pilkada dipisahkan sebagai rezim Pemerintahan Daerah yang dipilih secara demokratis melalui DPRD pasca Pemilu DPRD dapat disetujui.
Misalnya, Pemilu Presiden, DPR, DPD digelar serentak Februari 2029, lalu Pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dapat digelar serentak antara Mei - Agustus 2029 dan Pilkada melalui DPRD digelar serentak pada November 2029 oleh Sidang Paripurna DPRD Terpilih 2029 di masing-masing daerah.
Model ini membuat beban teknis tersebar proporsional sehingga memberi ruang bagi manajemen pemilu yang lebih manusiawi dan efisien, namun tetap dalam tahun yang sama dengan tetap menjaga integritas siklus politik lima tahunan dan prinsip keserentakan, memperkuat efektivitas sistem presidensial, dan tidak menabrak Pasal 22E, Pasal 20 UUD 1945, pungkas politisi senior Partai Golkar itu.
Pada bagian akhir wawancara, Ali Wongso Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional SOKSI organisasi pendiri Partai Golkar itu berharap masukan gagasan solusi alternatif masalah yang disampaikannya itu dapat menambah kekayaan bahan materil pembuat UU yaitu DPR bersama Pemerintah dalam proses merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada dalam waktu dekat ini.
Ia juga percaya pembuat UU sepenuhnya konstitusional termasuk terhadap Putusan MK No. 14/2013 tanpa larut pada Putusan No 135/2024 yang kontroversial, hanya demi kepentingan nasional menuju Indonesia Emas 2045 dan masa depan bangsa yang lebih baik.
"SOKSI turut berharap dan percaya bahwa dengan pelaksanaan UU Pemilu dan UU Pilkada yang baru kelak, bahwa kualitas proses dan hasil Pemilu 2029 kelak akan lebih demokratis secara substansial, bersih, jujur,adil ,akuntabel selain murah, cepat, tidak melelahkan, serta sukses besar menuju Indonesia Emas 2045," tutup mantan Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar itu.
tag: #soksiBagikan Berita ini :