Bagikan Berita ini :
(Sumber foto : )
Partai Golongan Karya, atau yang akrab disebut Golkar, merupakan salah satu entitas politik paling berpengaruh dalam sejarah Republik Indonesia. Dari awal berdirinya hingga saat ini, Golkar telah mengalami serangkaian pergerakan, perubahan, dan kemajuan yang mencerminkan kompleksitas dinamika politik nasional. Ia bukan hanya saksi perjalanan bangsa, tetapi juga pelaku utama yang membentuk arah dan wajah politik Indonesia lintas generasi.
Akar Historis: Simbiosis Negara dan Golongan Karya
Golkar lahir bukan sebagai partai politik dalam pengertian tradisional, melainkan sebagai federasi dari berbagai kelompok fungsional (karyawan, profesional, petani, nelayan, pemuda, wanita) yang digagas untuk meredam dominasi ideologi kiri dalam tubuh pemerintahan Presiden Soekarno. Di bawah kepemimpinan Soeharto pasca-Orde Lama, Golkar berubah menjadi "kendaraan politik" utama Orde Baru. Selama tiga dekade, Golkar memainkan peran dominan sebagai partai penguasa yang menyatukan birokrasi, militer, dan technocrat dalam satu struktur kendali negara.
Namun dominasi ini berbiaya mahal: keterkaitan yang terlalu erat dengan kekuasaan membuat Golkar juga menanggung beban sejarah berupa tuduhan otoritarianisme, praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), serta lemahnya akuntabilitas terhadap rakyat.
Era Reformasi: Ujian Eksistensi dan Adaptasi
Reformasi 1998 menjadi titik balik. Jatuhnya Soeharto mengguncang Golkar secara mendasar. Dari partai penguasa, Golkar harus menyesuaikan diri menjadi peserta demokrasi yang setara dengan partai lain. Tidak sedikit pengamat yang memprediksi Golkar akan runtuh dan tergerus arus reformasi.
Namun kenyataannya, Golkar menunjukkan ketahanan politik yang luar biasa. Melalui berbagai perubahan struktural dan strategis, Golkar mampu mempertahankan basis elektoralnya dan tetap menjadi salah satu kekuatan utama dalam pemilu legislatif, bahkan meraih suara terbanyak pada Pemilu 2004.
Perubahan ini menandai fase baru Golkar sebagai partai modern: dari simbol status quo menjadi partai yang terus menyesuaikan diri dengan tuntutan demokrasi.
Reformasi Internal: Konsolidasi, Fragmentasi, dan Regenerasi
Dalam perjalanannya, Golkar tidak luput dari dinamika internal: perebutan kekuasaan, faksionalisasi, dan rotasi kepemimpinan yang cukup intens. Pasca reformasi, sejumlah tokoh penting seperti Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Setya Novanto, Airlangga Hartarto, dan kini muncul Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum hasil Munaslub 2025, mewarnai arah kebijakan dan strategi partai.
Setiap periode kepemimpinan membawa corak sendiri:
Akbar Tandjung menata ulang Golkar untuk bertahan di era transisi demokrasi.
Jusuf Kalla memperkuat posisi Golkar di parlemen dan pemerintahan.
Aburizal Bakrie memodernisasi mesin partai dan membangun infrastruktur media.
Setya Novanto mencerminkan kerentanan etika politik, namun juga jaringan kekuasaan yang luas.
Airlangga Hartarto membawa stabilitas dan posisi strategis dalam pemerintahan Presiden Jokowi.
Bahlil Lahadalia membawa semangat revitalisasi generasi muda, entrepreneurship, dan keberpihakan pada ekonomi nasional.
Namun demikian, fragmentasi di tubuh partai juga kerap menimbulkan ketegangan yang menurunkan citra dan soliditas partai.
Golkar Hari Ini: Antara Tradisi, Kepentingan, dan Modernitas
Sebagai partai yang mengklaim berideologi kekaryaan, Golkar menempatkan pembangunan dan stabilitas sebagai nilai utama. Dalam praktiknya, Golkar telah banyak bertransformasi menjadi partai tengah yang pragmatis, mampu berkoalisi ke kiri atau ke kanan tergantung kepentingan politik nasional.
Dalam Pilpres 2024, keputusan Golkar mendukung Prabowo-Gibran menunjukkan sikap realistis untuk mempertahankan posisi strategis dalam kekuasaan, namun juga menyisakan kritik publik terkait komitmen terhadap demokrasi substansial, terutama karena kontroversi pencalonan Gibran yang dipermasalahkan secara etis dan konstitusional.
Golkar juga sedang dihadapkan pada tantangan regenerasi kepemimpinan. Mayoritas kader senior mendominasi struktur, sementara upaya menarik pemilih milenial dan Gen-Z masih berjalan lambat. Jika tak segera direvitalisasi, Golkar berisiko menjadi partai "masa lalu" di tengah peta politik yang semakin didominasi oleh populisme digital.
Masa Depan Golkar: Jalan Tengah atau Jalan Baru?
Masa depan Golkar akan sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam menjawab beberapa pertanyaan kunci:
1. Apakah Golkar mampu menjadi partai ideologis yang konsisten, bukan sekadar pragmatis?
2. Bisakah Golkar menjadi lokomotif reformasi partai politik, bukan penghambatnya?
3. Mampukah Golkar menjaring dan mendidik kader muda yang berintegritas dan visioner, bukan hanya loyalis kekuasaan?
4. Dan, dapatkah Golkar mengembalikan kepercayaan publik melalui politik yang bersih, partisipatif, dan berorientasi pada kepentingan rakyat luas?
Jika Golkar dapat menjawab tantangan-tantangan ini dengan baik, maka partai ini bukan hanya akan bertahan, tetapi juga relevan dan berpengaruh dalam lanskap politik Indonesia modern.
Namun jika tidak, maka sejarah panjang yang dimilikinya hanya akan menjadi monumen masa lalu yang agung tapi kehilangan makna di masa depan.
Partai Golkar adalah cermin sejarah politik Indonesia: penuh liku, paradoks, dan pergerakan. Dari tangan besi Orde Baru hingga fleksibilitas era reformasi, dari loyalitas kekuasaan hingga manuver demokratis, Golkar adalah laboratorium politik yang hidup. Tugas kita adalah terus mengawasinya, mengkritisinya, dan mendorongnya untuk terus berubah—menuju partai yang tak sekadar besar, tapi juga bermartabat.
Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.
Bagikan Berita ini :