Opini

Mukjizat di Kursi 11A: Antara Takdir, Teknologi, dan Ketabahan Manusia

Oleh Ariady Achmad pada hari Minggu, 15 Jun 2025 - 13:24:05 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

tscom_news_photo_1749968645.jpeg

(Sumber foto : )

Dalam sejarah penerbangan komersial modern, kisah selamatnya satu jiwa dari kecelakaan dahsyat adalah anomali langka—lebih dekat ke wilayah metafisika daripada statistik. Itulah yang terjadi pada Viswash Kumar Ramesh, satu-satunya yang selamat dari kecelakaan tragis pesawat Air India AI171 pada 12 Juni 2025. Sebuah kisah nyata yang dituturkan dengan getir oleh Cak AT dalam catatan naratif berjudul "Mukjizat di Seat 11A”.

Namun di balik narasi emosional tersebut, terhampar banyak lapisan fakta, tafsir, dan pelajaran yang layak dieksplorasi secara objektif. Kita dihadapkan pada pertanyaan eksistensial: Mengapa satu orang selamat ketika 240 lainnya tidak? Dan lebih dari itu, apa makna kemanusiaan, teknologi, dan nasib di tengah tragedi modern ini?

Dimensi Kecelakaan: Sains dan Struktur

Menurut laporan awal, pesawat Air India AI171 lepas landas dari Bandara Sardar Vallabhbhai Patel, Ahmedabad, dan mengalami kegagalan mesin disertai kerusakan sistem kendali hanya 60 detik setelah lepas landas. Dalam waktu kurang dari dua menit, pesawat menghantam asrama mahasiswa BJ Medical College dan menewaskan hampir semua yang ada di dalam kabin.

Namun kursi 11A—tempat duduk yang terletak tepat di samping pintu darurat bagian depan ekonomi kiri—mengalami dinamika struktur yang unik. Bagian badan pesawat tempat kursi itu berada tidak menghantam secara langsung ke gedung beton, melainkan jatuh di celah lantai bawah, menciptakan ruang terbuka yang secara tidak sengaja melindungi Viswash dari ledakan dan tekanan penuh benturan.

Fakta ini, menurut para ahli keselamatan penerbangan, bukan sepenuhnya "ajaib", tetapi merupakan hasil kompleksitas dari distribusi energi kinetik, arah benturan, dan konfigurasi kabin yang tidak bisa diramalkan sepenuhnya oleh manusia. Tetap saja, probabilitas seseorang bisa selamat dari kecelakaan seperti ini tetap sangat kecil: kurang dari 1:11 juta dalam sejarah penerbangan global.

Narasi Emosional: Antara Luka dan Kesadaran

Di tengah reruntuhan logam dan kobaran api, Viswash tidak hanya selamat secara fisik, tetapi juga memikul beban psikologis survivor: menyaksikan tubuh manusia terbakar, berteriak sendiri dalam kebingungan, dan kehilangan saudara kandung yang hanya duduk beberapa kursi darinya.

Seperti ditulis Cak AT, pengalaman ini membawa Viswash ke dalam ruang refleksi yang eksistensial: bagaimana selembar sabuk pengaman, sebaris tempat duduk, dan satu gerakan instingtif bisa menjadi pembeda antara hidup dan mati.

Penderitaan Viswash adalah luka yang tak tampak dalam laporan kecelakaan resmi. Namun justru melalui narasi ini, pembaca diajak menyadari bahwa korban selamat dari bencana besar tidak pernah keluar tanpa luka. Mereka membawa trauma, kesedihan, dan pertanyaan tanpa jawaban. Dan bagi Viswash, hidup pasca-kecelakaan adalah misi kemanusiaan baru — untuk mengingat, bukan melupakan.

Perspektif Teknologi: Di Mana Batas Kontrol?

Kecelakaan ini juga menyentil satu pertanyaan penting: sampai di mana kita bisa bergantung pada teknologi modern untuk menjamin keselamatan manusia?

Industri penerbangan dikenal sebagai yang paling disiplin terhadap prosedur keselamatan, audit teknis, hingga pelatihan kru. Namun tetap saja, kejadian di AI171 menunjukkan bahwa bahkan di tengah sistem yang canggih, kerapuhan manusia dan alam tetap bisa menerobos. Apakah ini kegagalan teknis? Human error? Sabotase? Penyelidikan akan menjawabnya. Tapi bagi Viswash — dan dunia — satu pesan lebih besar sudah lebih dulu lahir: “Hidup ini rapuh.”

Makna Spiritual: Antara Keberuntungan dan Amanah

Bagi sebagian orang, keselamatan Viswash adalah "mukjizat". Bagi lainnya, ia adalah keberuntungan statistik. Tapi apapun terminologinya, kisah ini menyimpan muatan spiritual yang dalam.

Viswash tidak melihat keselamatannya sebagai kemenangan, tapi sebagai tugas baru: untuk hidup mewakili mereka yang tak sempat keluar dari reruntuhan. Ia menjadikan ingatan sebagai bentuk perlawanan terhadap lupa. Dalam satu kalimatnya yang menyentuh: “Saya harus hidup untuk tidak melupakan.”

Inilah titik ketika cerita pribadi menjadi kisah universal. Tentang tanggung jawab atas hidup yang ditunda kematian. Bahwa selamat bukanlah garis akhir, melainkan pintu masuk ke pengabdian yang lebih dalam: kepada makna, kepada sesama, kepada kemanusiaan.

Implikasi Sosial dan Simbolis: Kursi 11A sebagai Metafora

Kursi 11A bukan sekadar lokasi duduk dalam kabin. Ia telah menjelma menjadi simbol tipisnya garis hidup dan mati, ruang yang membuat kita merenung bahwa nasib manusia tidak selalu bisa diukur dengan rencana atau logika.

Ia menjadi metafora tentang pilihan dan keacakan, tentang keberanian di tengah api, tentang tubuh yang bertahan tanpa rencana. Dan dalam dunia yang makin terobsesi pada kendali, kisah ini mengingatkan kita bahwa ada hal-hal yang melampaui kendali itu sendiri.

 Belajar dari 11A

Kisah Viswash bukan semata untuk dikagumi atau dikasihani, melainkan untuk dijadikan cermin kehidupan. Bahwa ketika hidup memberi kita kesempatan kedua, tanggung jawab terbesarnya adalah tidak menyia-nyiakan yang pertama.

Kita belajar bahwa prosedur keselamatan bukan sekadar formalitas. Bahwa memahami letak pintu darurat dan cara membukanya bisa membuat perbedaan. Bahwa cinta kepada saudara, rasa takut, dan insting untuk bertahan adalah modal dasar manusia untuk tetap hidup.

Dan bahwa, selama kita masih bisa bernapas, kita harus hidup untuk mengingat.

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement