Opini

Melawan Politik Oligarki Jokowi

Oleh Lukas Luwarso pada hari Minggu, 18 Agu 2024 - 14:41:29 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

tscom_news_photo_1723966889.jpg

Lukas Luwarso (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Oligarki politik di Indonesia semakin mengarah menjadi gergasi politik yang tak terbendung, konsekuensi dari permainan politik manipulatif yang dterapkan Jokowi dengan dukungan para kroni penguasa-pengusaha yang mengelilinginya. 

Kesepakatan politik dan policy semata-mata hanyalah transaksi kepentingan. Dalam situasi ekstrem, bisa berlaku satu persen oligark menguasai 90% ekonomi dan kekayaan negara, rakyat terpuruk dalam kemiskinan.

Mengapa demokrasi yang cacat mudah menjadi oligarki? Karena pemerintahan, selaku penguasa anggaran, mampu membeli loyalitas, mengontrol hukum, memanipulasi informasi, menyalahgunakan birokrasi, dan segala prosedur penyelenggaraan kekuasaan. Semua kontrol itu bisa dipakai untuk membuat keputusan yang seolah-olah legalistik, demokratis, dan partisipatif. 

Di Indonesia, praktek terlihat dalam penyusunan dan pengesahan UU IKN, UU Cipta Karya (Omnibus Law), revisi UU KPK, UU Minerba, revisi UU TNI-Polri, dan sebagainya, sepuluh tahun terakhir.

Memperkuat Demokrasi Substantif

Dalam kajian politik terdapat teori "Hukum Besi Oligarki", yang diintroduksi oleh sosiolog Jerman, Robert Michels, dalam buku Political Parties (terbit 1911). Ia menyatakan bahwa semua organisasi yang kompleks, terlepas dari seberapa demokratis ketika dimulai, pada akhirnya akan berkembang menjadi oligarkiis. 

Michels mengamati tidak ada organisasi besar dan kompleks (termasuk partai politik) yang dapat berfungsi murni secara demokratis. Dalam organisasi selalu ada pendelegasian kewenangan dan keputusan kepada individu-individu dalam organisasi tersebut, baik yang dipilih maupun tidak.  Partai Politik, bagi Michels , "adalah organisasi yang memberikan kekuasaan kepada yang dipilih atas para pemilih."

Jika teori Hukum Besi Oligarki itu valid, apakah berarti demokrasi tidak bisa bebas dari oligarki? Tidak juga, oligarki kalaupun tidak sepenuhnya bisa dilenyapkan, setidaknya bisa diminimalisasi. Agar demokrasi bisa bertahan dan berjalan, maka sejumlah prasyarat berikut musti berlaku:

1. Masyarakat yang berkarakter otonom dan independen perlu dibangun secara bottom up..Memiliki otonomi dalam berpolitik dan independen secara ekonomi, danemiliki kebebasan untuk berekspresi dan berorganisasi.

2. Menerapkan sistem federasi dan otonomi penuh, namun tetap dalam kerangka negara kesatuan. Agar tidak berlaku pemusatan kekuasaan dan administrasi birokratis yang sentralistik dan hirarkis. Kekuasaan pemerintahan perlu sebesar mungkin terdesentralisasi. Masing-masing wilayah (provinsi) bisa leluasa mengatur diri sendiri, membuat aturan yang selaras dengan karakteristik daerah itu (customize regulations and policies).

3. Perlu menerapkan proses sortition (pengundian) sebagai alternatif election, untuk pengisian jabatan-jabatan publik. Agar penyalahgunaan proses pemilihan bisa diminimalisasi.

Era Globalisasi, dengan karakteristik pemain utama korporasi multi-nasional, bisa menempatkan pemerintahan nasional di bawah kendali transaksional korporasi kapitalis global. Pemilahan wilayah publik dan privat menjadi kabur, karena korporasi ikut dalam lobi-lobi untuk menentukan produk legislasi demi mengamankan kepentingannya (contoh gamblang adalah pemberian status "Proyek Strategis Nasional" untuk proyek swasta seperti PIK dan BSD). 

Privatisasi policy semacam itu lebih mengutamakan profit korporasi ketimbang kesejahteraan masyarakat (public welfare). Dan pada akhirnya, pemerintahan yang oligarkis dan korporasi saling menyusui. Relasi conflict of interest politik dan ekonomi menjadi norma yang wajar, korporasi berkelindan menjadi birokrasi. Oligarki menyempurnakan diri menjadi Leviathan politik yang tidak bisa dipersoalkam. 

Oligarki politik di Indonesia semakin mengarah menjadi gergasi politik yang tak terbendung, konsekuensi dari permainan politik manipulatif yang dterapkan Jokowi dengan dukungan para kroni penguasa-pengusaha yang mengelilinginya. Praktik politik oligarki yang makin merajalela ini tidak boleh berlanjut, harus dihentikan dan diberantas. Itu adalah ancaman sekaligus tantangan bagi pemerintahan baru era 2024 - 2029.

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement