Opini

Puasa Melatih Daya Transendensi Dari Gravitasi Syahwat Bumi

Oleh Yudi Latif, Pakar Aliansi Kebangsaan pada hari Kamis, 15 Apr 2021 - 12:00:34 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

tscom_news_photo_1618462834.jpg

Yudi Latief (Sumber foto : Ist)

Puasa melatih cara beragama secara dewasa. Beribadah bukan karena apa kata orang, melainkan apa kata nurani sendiri. Bermoral bukan karena paksaan dari luar, melainkan karena pancaran ketulusan dari dalam. Puasa melatih daya transendensi dari gravitasi syahwat bumi. Puasa yang masih terintimidasi makanan di warung atau melancarkan "balas dendam" dengan menyantap makanan secara berlebih saat berbuka pertanda jiwa kekanak-kanakan yang masih melekat pada materi sebagai budak nafsu.

Puasa melatih keheningan untuk mendengarkan suara batin bicara. Puasa penuh “teriak”, dengan menjalaninya di bawah tekanan hardikan dan ancaman siksaan, adalah puasa para budak, yang mendekati Tuhan hanya karena keterpaksaan rasa takut, bukan karena keasyikan rasa rindu para pecinta. 

Puasa mendekatkan hubungan personal dengan Sang Khalik dengan mengeratkan tali kasih dengan sesama makhluk. Puasa adalah cara meraih rahmat Tuhan dengan menempuh jalan rahmatan lilalamin dalam kehidupan.

Puasa menanamkan kejujuran untuk berani berkata benar pada orang lain dengan keteguhan integritas untuk berani berkata benar pada nurani sendiri. Kukuh menjalankan kebenaran dan kebaikan dengan sikap ihsan. Sekalipun kita tak melihat Tuhan, sesungguhnya Tuhan senantiasa hadir dalam setiap dengus nafas kita.

Puasa menanamkan sikap ugahari, tahu kapan merasa cukup. Tak begitu memikirkan apa yang diinginkan; dan menyadari benar apa yang tak dibutuhkan. Tak begitu terobsesi dengan legasi perseorangan bila harus dibayar mahal oleh penderitaan dan beban berkelanjutan banyak orang. Menyadari benar kapan hasrat berkuasa dan mengendalikan partai harus berhenti; hingga batas mana akumulasi kekayaan dan peluang usaha pantas diraih.

Tak sepantasnya semua ruang dikuasai. Kebebasan berjelajah tak boleh membuat seseorang menjadi serakah. Sesungguhnya segala makhluk hidup memerlukan ruang hidup. Kebahagiaan bersama terengkuh manakala tumbuh kasih berbagi ranah. Kuasa yang sehat tercipta dalam permainan timbal-balik di antara orang-orang yang merdeka. Satu sama lain bisa saling memengaruhi karena masing-masing punya ranah yang dikuasai. Bila segala ranah, ekonomi, politik dan budaya, dikuasai satu pihak, hubungan kuasa bersifat satu arah. Segelintir orang menguasai segala ruang, menyingkirkan pihak-pihak lain ke tepian. Relasi kuasa yang timpang bisa menjelmakan tirani, yang menimbulkan kerusakan di muka bumi.

Puasa mengingatkan kita tentang hukum keseimbangan. Manakala relasi kuasa berjalan timpang, yang membuat arus balik terus dibendung, maka air yang tak menemukan saluran lama-lama akan meninggi. Dengan satu tiupan topan, gelombang tsunami anarki akan meluluhlantakkan segala dinding keserakahan. Maka mulailah belajar menahan diri. Jika tak suka dipinggirkan, jangan meminggirkan. Jika tak suka dicubit, jangan mencubit. Jika suka disayangi, bagikan kasih sayang pada yang lain. Sesungguhnya kerakusan itu laksana api yang akan membakar segala pencapaian.

Puasa mengingatkan keharusan berbagi dalam distribusi harta, kesempatan, dan status kehormatan; juga dalam peran dan tanggung jawab mengelola urusan hidup bersama.  Tak sepatutnya suatu otoritas di bidang tertentu mengintervensi bidang lain di luar kapasitas kewenangannya; atau sebaliknya suatu bidang kelembagaan dengan cakupan kendali yang sudah begitu luas malah ditambah beban-beban tanggung jawab baru di luar batas kemampuannya. Bila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya dan tidak didistribusikan secara proporsional, tunggu saja saat kehancurannya.

Dengan puasa sejati, derajat manusia ditinggikan kembali melampaui nilai kebendaan-kekuasaan. Bahwa nafsu menimbun harta, memperluas pengaruh, dan eksploitasi pengetahuan telah melalaikan manusia hingga membiarkan dirinya sekadar menjadi faktor produksi, budak kekuasaan, dan alat percobaan.

Dalam perbudakan nafsu duniawi ini, kehadiran agama yang mestinya pengemban misi keadilan, cinta kasih, dan kewarasan justru acapkali menjadi penasbih atau setidaknya membiarkan kezaliman, permusuhan dan pembodohan. Di manakah misi penyempurnaan akhlak jika agama hanya dijadikan kemasan pemasaran, pangkal pertikaian, dan dalih kekuasaan? Jika etos keagamaan sebagai landasan kritik terhadap berhala dan korupsi kebendaan, kekuasaan, dan pengetahuan mulai membeku; sementara sumur moralitas lain pun mengering; bagaimana bisa yakin bahwa segala percobaan reformasi politik bisa berhasil tanpa basis etis yang menopangnya.

Jeda Ramadhan memberi momen refleksi diri, memulihkan tenaga rohani untuk membakar benalu yang mengerdilkan moralitas. Ramadhan memberi kesadaran bahwa hasrat menimbun, berkuasa, dan berpengaruh tak pernah ada puasnya kecuali dengan belajar puasa. Pengendalian dirilah akar tunjang pengendalian sosial. Adapun ibadah puasa bak kawah candradimuka pelatihan kendali diri.

Sekiranya semua warga belajar berpuasa sungguhan, gumpalan lemak kuasa dan harta yang berlebih di satu kelompok bisa disalurkan menjadi energi hidup bagi kelompok lain, tidak menjadi kolesterol keserakahan yang memicu kelumpuhan sosial. Seperti dedaunan yang jatuh di musim gugur bisa memupuk rerumputan di bawah dan sekitarnya. Sesekali kita pun perlu meranggas; membiarkan keakuan terbakar, tersungkur sujud; menginsafi kefanaan yang menerbitkan hasrat untuk berbagi, membuka diri penuh cinta untuk yang lain.

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #puasa  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement