Opini

Pancasila dan Dialektika Demokrasi Kontemporer (1)

Oleh Ronny P. Sasmita (Pemerhati Ekonomi Politik, Analis Ekonomi Global di Financeroll Indonesia, Jakarta) pada hari Selasa, 09 Jun 2015 - 06:48:56 WIB | 0 Komentar

Bagikan Berita ini :

33unnamed_1433806951361.jpg

Pancasila (Sumber foto : Istimewa)

Joseph Stiglitz, penerima dua penghargaan Nobel Laureate (tahun 2001 untuk kategori ekonomi dan tahun 2007 untuk kategori perdamaian), pada kuliah umum di Central Europe University, Budapest, Hungaria, awal November 2014 lalu, dengan berat hati harus memberikan jawaban negatif atas pertanyaan yang sekaligus menjadi topik kuliah umum waktu itu. 

Stiglitz memberikan jawaban “No” untuk pertanyaan “Can liberal Democracy Create shared and Sustained Prosperity?” (Bisakah demokrasi liberal menginisiasi kesejahteraan secara berkelanjutan?). 

Di satu sisi, Stiglitz sebenarnya bukanlah ekonom yang anti kapitalisme. Tapi disisi lain beliau juga bukan penganut paham neoliberalisme klasik yang secara ideologis percaya bahwa “pasar” atau “market” akan bekerja sendiri (by its self - self regulating market) untuk meningkatkan produktifitas, kemudian mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi. 

Dalam perspektif neoliberalisme, pasar tidak perlu diintervensi terlalu dalam, tugas pemerintah hanya memfasilitasi dengan regulasi-regulasi yang diperlukan. Jika kemudian terjadi ketimpangan (inequality) dan disparitas, maka persoalannya ada pada aras “distribusi” dan “redistribusi”, bukan pada “market mechanism” (mekanisme pasar). 

Sehingga konsekuensinya, pemerintah harus memberikan lebih banyak insentif kepada masyarakat yang tertinggal secara ekonomi atau kepada kelompok-kelompok marginal agar mereka bisa mengalami mobilisasi sosial (naik kelas), mulai dari insentif pendidikan, kesehatan, insentif teknologi, kemudahan kredit usaha, pinjaman untuk konsumsi rumah tangga atau pinjaman pendidikan, dan berbagai kebijakan yang berkategori “safety net” (jaring pengaman). 

Bahkan paska dihantam krisis finansial akut tahun 2008-2009 (housing market turmoil), pendapat ini sampai hari ini justru masih bergaung lantang di negara-negara demokrasi liberal, termasuk di dalam point-point pokok kampanye Hillary Clinton dalam kapasitasnya sebagai kandidat presiden Amerika mendatang dari Partai Demokrat. 

Agenda-agenda redistributif seperti ini pula yang sejatinya telah mendudukan Barrack Obama di Gedung Putih pada tahun 2008 lalu. Karena itu pulalah, secara fundamental-ideologis Hillary Clinton hanya dianggap sebagai perpanjangan tangan dari sayap liberal demokrat yang sudah digaungkan sejak dahulu kala, sama seperti Bill Clinton dan Barrack Obama. 

Sehingga pada aras teknis, kubu Partai Demokrat akan selalu menghindar jika diminta untuk mengutak-atik pasar. Inilah salah satu sebab utama mengapa Hillary maupun pendahulu-pendahulunya selalu menjadi idola pelaku-pelaku bursa dan aktor-aktor yang melipatgandakan kekayaannya melalui sistem ekonomi pasar ala Partai Demokrat (Wall Street menyebut mereka dengan sebutan fans of market). 

Karena tidak ada dalam kamus Partai Demokrat kata-kata sakti yang kemudian akan membebankan pajak tinggi (High Taxes) pada pelaku pasar atau para kapitalis. Persoalan ketimpangan, kemiskinan, disparitas dalam berbagai aspek kehidupan, bagi mereka hanyalah persoalan “distribusi” dan “redistribusi”, bukan persoalan apakah ada penyakit akut yang menjangkiti urat nadi kapitalisme atau tidak.(bersambung)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

tag: #pancasila   #roni p sasmita   #liberal  

Bagikan Berita ini :

Kemendagri RI
advertisement