Bagikan Berita ini :
Demo mahasiswa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). (Sumber foto : Ist)
Gerakan mahasiswa sudah pada fase yang mengkhawatirkan. Sudah ada korban dua mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari yaitu Randy mahasiswa Fakultas Perikanan dan Yusuf mahasiswa teknik. Mereka ini jadi martir demi perjuangan mahasiswa yang belum pasti sampai dimana ujung dari aksi tersebut.
Kematian kedua mahasiswa tersebut, dapat menjadi sumbu pendek untuk terjadinya bentuk perlawanan mahasiswa kepada aparat kepolisian, di berbagai daerah lain yang cukup luas dan banyaknya simpul perlawanan mahasiswa. Tuntutan sudah berubah bukan saja persoalan pencabutan revisi UU KPK, dan UU lainnya, tetapi tindakan kekerasan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Kita masih ingat, kerusuhan 21-23 Mei 2019 yang lalu, mahasiswa tidak ikut aksi karena terkait dengan kepentingan politik, dan mereka menilai tidak ada nilai idealisme yang diperjuangkan. Mereka para milenial alergi dengan gerakan politik, yang penuh intrik dan kepentingan untuk merebut kekuasaan.
Analisis mahasiswa ternyata benar. Setelah ditetapkan pemenang Pemilu oleh MK, pimpinan partai politik yang kalah ternyata kembali be rangkulan dan bermesraan dengan lawan politiknya yang menang. Bagi mahasiswa mereka tidak perduli. Itu urusan partai politik dan masa pendukung partainya.
Rekonstruksi sosialnya adalah tidak sama dan se bangun, perjuangan partai politik, dengan masyarakat sipil yang sudah semakin cerdas dan mempunyai penilaian sendiri tentang panggung politik yang sedang diperankan oleh aktor politik.
Masyarakat sipil ini di representasi kan oleh mahasiswa suatu komunitas milenial yang di tangannya menggenggam gadget yang bisa berselancar seluruh dunia apalagi Indonesia. Jika mereka para mahasiswa sudah berada pada gelombang dan amplitudo getaran frekuensi yang sama, jadilah gerakan yang masif, serentak, dan terarah.
DPR dan Pemerintah tidak menduga, atau tidak sensitif dengan perkembangan sosial masyarakat, dan yakin betul bahwa kontruksi sosial masyarakat sipil sama dengan situasi dan konstruksi sosial sewaktu menjelang dan masa kampanye Pemilu.
Dalam masyarakat sipil dengan semangat reformasi yang sudah dibangun sejak 20 tahun yang lalu, menempatkan demokrasi sebagai komitmen seluruh bangsa dan juga sepakat tidak boleh mundur sebagai negara demokrasi, kembali menjadi negara otoriter.
Pemerintah dan DPR dengan kerangka berpikir tersebut diatas, dan dengan remote control Ketua – Ketua Partai kepada para pimpinan fraksi di DPR, bergulir lah berbagai RUU yang sensitif, berbau kolusi, korupsi, nepotisme, dan terlalu jauh mencampuri urusan pribadi masyarakatnya. Bukan itu saja, bahkan terkait dengan penegakan hukum terhadap korupsi yang dilaksanakan KPK, juga harus dilakukan perbaikan landasan hukumnya, karena dianggap terlalu kuat dan merontokkan para politisi, anggota parlemen, birokrasi dan pejabat pemerintah. Intinya Pemerintah dan DPR ingin menempatkan hubungan kelembagaan yang check and balances.
Semangat check and balances dalam Revisi RUU KPK, menurut masyarakat sipil dan mahasiswa tidak tepat, karena akan kehilangan karakternya sebagai tenaga “turbo” untuk memberangus korupsi. Akan kehilangan energinya sebagai tenaga pengungkit yang power fulluntuk menangani korupsi.
Gegabahnya DPR, dan pemerintah dalam melakukan proses Capim KPK, Revisi UU KPK, dan RUU lainnya, sebenarnya sudah diingatkan oleh berbagai pihak, mereka yang peduli kepada negara ini, tanpa berpretensi kepentingan politik. Sampai disini mahasiswa masih terus mengamati dan membahasnya dalam gemggaman gadget mereka. Peran netizen, media sosial, tidak bisa diabaikan sebagai media yang efektif untuk menyatukan dan menyamakan kerangka pikir mahasiswa.
Demikian juga para petinggi partai poltik, merasa yakin masyarakat sipil sudah sesuai dengan alur berpikir petinggi politik. Ukuran yang mereka pakai adalah laporan KPU yang menyatakan partisipasi masyarakat ikut Pemilu cukup tinggi. Artinya mereka yakin suara partai adalah suara rakyat, bukan suara rakyat adalah suara partai. Rakyat dituntut untuk mengerti kepentingan partai, bukan partai yang seharusnya mampu menangkap keinginan rakyat.
Dalam perjalanan perjuangan mahasiswa, memang kekuatan idealisme nya tidak bisa di remote oleh siapa pun. Tidak mudah bagi mereka bergerak secara komunal, masif, dan serentak, kalau tidak karena kesadaran kolektif mereka sebagai anak bangsa, dan ancaman terhadap perjalanan reformasi, jika kelumpuhan KPK menjadi suatu kenyataan.
Soal isu ditunggangi, mereka tidak risau. Itu isu lama dan berulang setiap aksi yang mereka lakukan. Mereka sudah belajar soal hal tersebut. Lagu lama dengan warna musik baru. Mereka juga sudah memprediksi akan berhadapan dengan kekerasan dan kekuatan bersenjata. Jika dulu zaman Orde baru adalah Tentara, sekarang adalah Polisi yang juga sipil tetapi bersenjata.
Dimana suara Pimpinan Partai?
Dalam sutuasi dimana mahasiswa sedang berhadap-hadapan dengan Pemerintah dengan benteng para Polisi, dimanakah berada para pimpinan partai?. Mana suara Bu Mega, Muhaimin, Surya Paloh, Airlangga, dan Monorafa. Mereka ini yang menggerakkan para kader-kader nya di DPR untuk merumuskan Revisi UU KPK dan RUU lainnya yang bermasalah.
Disamping itu juga mereka memberikan masukan kepada Presiden, sehingga ketemu konsep DPR dengan keinginan Presiden. Demikian juga partai oposisi, kita tidak mendengar suara mereka baik SBY, Prabowo. Sohibul Iman, dan Zulkifli Hasan, apakah mereka menentang secara terbuka, atau sembunyi-sembunyi atau diam saja. Dan diam itu adalah selemah-lemahnya Iman, begitu bahasa agama.
Sepertinya situasi ini, seperti mirip episode akhir Orde Baru. Dimana Presiden Soeharto ditinggalkan oleh mereka yang terkenal loyalis. Membuat konspirasi meninggalkan Kabinet. Dan mereka itu adalah para politisi didikan Pak Harto. Kemudian bermetamorfosa menjadi tokoh reformis. Pak Harto ditinggal sendiri, berhadapan dengan mahasiswa, dan kita semua masih ingat yang menjadi Panglima ABRI waktu itu adalah Jenderal TNI Wiranto.
Situasi sekarang ini, pimpinan partai berdiam diri, para anggota Kabinet Pak Jokowi sudah mulai berhati-hati dan bahkan ada yang sudah mengundurkan diri karena akan menjadi anggota DPR. Ada yang masih konsisten membela yaitu Menteri M.Nasir dengan ancamannya kepada Rektor, Ali Ngabali (Staf KSP), dan Arteria Dahlan (anggota DPR), disamping Kapolri, Panglima TNI dan Menko Polhukam karena memang tugas mereka menjaga keamanan.
Para tokoh nasional yang dipanggil Presiden Jokowi untuk mendapatkan masukan, umumnya mereka itu tidak ada lagi kepentingan politik ( mudah-mudahan) , sudah memberikan masukan kepada Presiden agar Presiden menerbitkan Perppu UU KPK. Dan Presiden sedang mempertimbangkannya.
Saat ini Presiden Jokowi sedang berjalan di lorong buntu, menurut teman saya yang mengomentari tulisan saya yang lain. Jalan akan terbuka jika Pak Jokowi menerbitkan Perppu UU KPK. Pak Jokowi tidak perlu merasa kehilangan legitimasi sebagai Presiden, bahkan akan mendapat tempat terhormat di hati masyarakat, karena mendengarkan keinginan mahasiswa yang mereka itu juga adalah anak-anak kita, anak-anak bangsa yang akan meneruskan generasi kita sebagai bangsa Indonesia.
Dengan diterbitkannya Perppu UU KPK, maka diharapkan mahasiswa sudah dapat mengakhiri demo nya kembali ke kampus. Kami para dosen akan menerima anda di ruang kelas sebagai pejuang reformasi. Polisi juga akan kembali ke kesatuannya, bertemu dengan keluarganya yang juga khawatir keselamatan jiwa sebagai kepala keluarga. Kita semua bersaudara dan mempunyai cita-cita yang sama untuk NKRI.
Cibubur, 27 September 2019 (*)
Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.
tag: #aksi-mahasiswa #jokowiBagikan Berita ini :